Oleh: Lisa Aiko
Digitalisasi makin menjadi, termasuk di dunia pendidikan. "Mesin Pintar Masuk Kelas", begitulah Chat GPT bagi para siswa. Anak-anak dapat menyelesaikan tugas esai hanya dalam hitungan menit—cukup dengan menuliskan perintah atau prompt di ChatGPT. Tapi di balik kemudahan itu, para guru mulai bertanya-tanya: "Apakah ini hasil pemikiran siswa, atau buatan mesin pintar?"
Kehadiran kecerdasan buatan (AI), terutama ChatGPT, telah mengubah cara belajar banyak siswa. Mereka kini bisa mencari penjelasan rumit, merangkum materi, atau bahkan menulis puisi hanya dengan beberapa klik. Tapi di balik manfaat itu, muncul kekhawatiran: apakah siswa benar-benar belajar, atau sekadar mengandalkan mesin?
Antara Belajar dan Menyalin
Salah satu guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA sering merasa ada yang janggal saat membaca tugas muridnya. "Tulisannya memang bagus, terstruktur, dan rapi. Tapi saat ditanya maksudnya, si murid bingung menjawab,' ujarnya.
"Kayaknya bagus banget, tapi rasanya hambar. Waktu saya tanya bagian tertentu, anaknya malah tidak paham," ujarnya sambil menghela napas.
Fenomena ini mulai marak: siswa bukan mencontek dalam arti klasik, tapi mereka menyerahkan proses berpikir ke mesin. Mereka menyelesaikan tugas, tapi tanpa benar-benar memproses isi pelajaran dalam pikiran mereka, dan mereka sangat bahagia dengan kehadiran AI ini.
AI-ku, Bestie-ku : Saat AI Jadi Teman Belajar
Namun tidak semua siswa menyalahgunakan teknologi. Sakura (nama samaran), siswa kelas 12, justru merasa terbantu.
"Kadang saya kurang paham dengan penjelasan dari buku atau guru. ChatGPT bisa bantu jelaskan dengan bahasa yang lebih mudah," katanya. "Tapi saya tetap baca buku juga, kok, dan saya tidak mencari jawaban ujian dari AI, karena bagi saya AI hanya membantu dalam proses belajar namun AI bukan jawaban."