Indonesia memang surganya sarang burung walet. Itu bukan basa-basi.
Menurut Tirto pada 2024, kita memasok 70% kebutuhan dunia. Jadi wajar kalau Indonesia dipandang sebagai pemain utama di pasar global.
Presiden Jokowi pada periodenya. Pun kerap mempromosikan komoditas ini. Menegaskan perannya yang strategis bagi ekonomi nasional. Tak heran kalau sarang walet dijuluki “emas putih”.
Nilainya tinggi sekali. Nilai ekspornya tercatat mencapai $590,60 juta pada 2022, berdasarkan data BPS 2023. Naik 14,23 % dari tahun sebelumnya.
Keunggulan itu banyak ditopang faktor alam. Sarang terbentuk oleh spesies walet yang biasa bersarang di gua dan tebing. Habitat yang sangat cocok tersebar di Indonesia.
Produksinya diperkirakan sekitar 2.000 ton per tahun. Jauh melampaui negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Kualitasnya juga dikenal baik.
Teksturnya lembut, halus, dan bersih. Biaya panen relatif efisien karena lokasinya mudah diakses. Sehingga harga pun cenderung lebih terjangkau.
Namun ada catatan di sisi hilir. Harga ekspor produk olahan Indonesia sering lebih rendah. Dibanding negara importir seperti Hong Kong dan Singapura.
Dyah Rahmawati dan rekan menjelaskan, salah satu penyebabnya adalah isu sanitasi dan fitosanitari. Sementara negara lain menerapkan sistem perlindungan perdagangan yang jauh lebih terstruktur.
Alhasil, produk mereka masuk pasar dengan standar kesehatan lebih ketat dan nilai jual lebih tinggi.
Pemerintah sebenarnya sudah mencoba membenahi. Skema Eksportir Terdaftar diberlakukan melalui Permendag Nomor 19 Tahun 2021. Aturannya mewajibkan eksportir memiliki Nomor Kontrol Veteriner dan Instalasi Karantina Hewan.