Karkono Kamajaya selalu terasa menarik. Namanya sendiri mengingatkan pada cinta antar manusia, dan penambahan nama itu bukan hiasan belaka.
Ia memilihnya saat berumur 17 tahun, sebagai penanda peran yang ia pikul: wartawan, pejuang, juga ahli budaya.
Cerita hidupnya tak lurus-lurus saja. Ia pernah menyelundupkan candu. Kedengarannya kelam, tapi konteksnya berbeda. Aksi itu dilakukan untuk mencari dana bagi Republik.
Antara 1948 dan 1949, ia mengirim 22 ton candu untuk membantu negara membayar gaji pegawai, membiayai perwakilan di luar negeri, dan membeli senjata.
Tindakannya menunjukkan komitmen pada revolusi. Namun candu tetap barang terlarang, dan perdagangan candu bisa merusak masyarakat. Jadi, apakah cara ini bisa dibenarkan?
Di sana letak dilema moralnya. Ia mengambil risiko demi tujuan yang ia anggap sah. Batas antara benar dan salah menjadi kabur.
Rahasia itu ia simpan puluhan tahun, baru ia ungkapkan pada 1970, terutama untuk melindungi orang lain. Suka tidak suka, itu bagian penting dari sejarah.
Di ranah budaya, sumbangsihnya besar. Ia mendirikan Yayasan Panunggalan dan Lembaga Javanologi Yogyakarta pada 1984, dilandasi keprihatinan pada citra budaya Jawa.
Ia tak segan mengkritik pemerintah yang ia nilai abai.
Pekerjaan yang kerap disebut sebagai puncak prestasinya adalah transliterasi Serat Centini. Ia mengalihaksarakan huruf Jawa ke Latin, menghasilkan 12 jilid buku yang berisi ribuan halaman.
Di luar itu, ia menulis banyak karya lain. Ada novel Solo di Waktu Malam, ada pula ensiklopedia pengetahuan Jawa berjudul Almanak Dewi Sri. Untuk bacaan anak, ia menulis Nagalinglung Tunggulwulung.