Semangat wirausaha di Indonesia memang tinggi. Banyak orang jeli melihat celah usaha dan berani memulainya. Rasa percaya diri itu bukan sekadar klaim. Ada studi global yang mendukung.
Global Entrepreneurship Monitor 2023 menempatkan Indonesia di posisi kedua untuk keberanian dan niat berbisnis, tepat di bawah Arab Saudi.
Lingkungannya juga dinilai kondusif, tercermin dalam indeks NECI yang memberi peringkat baik. Artinya, fondasi ekosistem terlihat menjanjikan.
Masalahnya, ada anomali yang sulit diabaikan. Antusiasme menggebu, dukungan lingkungan terasa kuat, tetapi jumlah pengusahanya masih tipis.
Data resmi pemerintah menunjukkan rasio wirausaha baru 3,47 persen pada 2023. Bandingkan dengan negara maju yang berada di kisaran 12 persen.
Jurangnya lebar. Lalu muncul pertanyaan yang mengganggu: kenapa semangat tidak sejalan dengan hasil di lapangan?
Sebagian orang menyorot mentalitas individu. Pola pikir bertumbuh sering diajukan sebagai kunci. Memang, mindset seperti ini bikin orang tak cepat menyerah, mau belajar dari kegagalan, dan melihat tantangan sebagai peluang.
Kisah para pebisnis besar ikut menguatkan contoh kegigihan dan inovasi. Itu modal awal yang penting. Tapi apakah cukup jika semua beban ditempatkan pada kepala pelaku? Terlalu sederhana, bahkan kurang adil, untuk masalah yang rumit.
Coba lihat motivasi di balik keberanian tadi. Banyak usaha baru lahir karena keterpaksaan, bukan murni karena melihat peluang cerah. Ini wirausaha kebutuhan.
Dorongannya kebutuhan mendesak, sering kali karena sulitnya masuk kerja formal. Semangatnya beda dengan wirausaha berbasis inovasi atau peluang. Mereka umumnya mulai dari skala kecil dengan modal terbatas. Akibatnya, lebih rentan goyah.
Di titik ini, hambatan nyata mengambil peran. Nyali saja tidak cukup. Begitu berhadapan dengan birokrasi yang ruwet, pengurusan izin bisa menguras energi.