Indonesia memang produsen kelapa terbesar di dunia. Wajar kalau status ini sering jadi sumber kebanggaan.
Data FAO pun mendukungnya. Posisi Indonesia stabil di papan atas untuk produksi kelapa global (Databoks Katadata, 2022).
Dari sini lahir satu asumsi yang terasa masuk akal. Kalau bahan bakunya kita kuasai, bukankah seharusnya produk turunannya juga dikuasai?
Salah satu yang sering disebut adalah sabut kelapa. Potensinya besar, jelas. Tapi angka perdagangan menceritakan hal yang berbeda.
Ceritanya tidak sesederhana "punya bahan baku, pasti menang". Potensi itu belum benar-benar tergarap.
Faktanya, Indonesia masih tertinggal lebar di industri hilir kelapa. Di pasar global, India dan Sri Lanka yang jadi aktor utama. Dua negara ini menguasai sekitar setengah pasokan sabut kelapa dunia (Kementerian Perdagangan, 2022).
Ironisnya, ketika Indonesia adalah produsen kelapa terbesar, nama kita justru tidak masuk sepuluh besar eksportir sabut.
Lalu kenapa produsen bahan baku terbesar bisa kalah di industri? Mengapa bukan kita yang memimpin? Jawabannya tidak sesederhana satu kalimat.
Kualitas bahan baku bisa berperan. Sabut dari pesaing mungkin lebih seragam atau lebih cocok untuk kebutuhan industri.
Ada faktor efisiensi yang sering menentukan: teknologi pengolahan, biaya tenaga kerja, sampai dukungan kebijakan yang membuat pabrik bisa berproduksi stabil dan murah.
Ketergantungan pasar juga jadi masalah lama. Data menunjukkan ekspor sabut kelapa kita sangat bergantung pada Tiongkok.