Ada satu lukisan yang selalu bikin orang berhenti sejenak: "Gadis dengan Anting Mutiara". Banyak yang menjulukinya "Mona Lisa dari Utara". Kedengarannya gagah, memang.
Julukan itu menyorot tatapan si gadis yang serba mengundang tanya. Daya tariknya terasa lintas budaya dan waktu (Encyclopedia Britannica).
Tapi, kalau dipikir-pikir, sebutan itu bisa juga menyesatkan sedikit. Pesonanya tidak berhenti pada senyum yang samar.
Ada lapisan yang jauh lebih dalam. Banyak orang terpikat pada pertanyaan besar yang menempel padanya.
Siapa sebenarnya gadis itu? Pertanyaan ini memantik novel dan film yang ikut mengangkat pamornya. Cerita fiksi ikut mendorong ketenarannya.
Namun, apakah misteri identitas itu satu-satunya kunci? Rasanya tidak. Daya utama lukisan ini berasal dari hal lain sama sekali.
Sumber kekuatannya ada pada tangan sang pelukis. Johannes Vermeer. Ia mahir sekali mengolah cahaya. Reputasinya diakui luas oleh para sejarawan seni (National Gallery of Art).
Di tangannya, cahaya terasa hidup, memantul, mengembun di atas kanvas. Lihat anting mutiara itu. Kilau kecilnya seperti berdenyut. Perhatikan juga turban di kepalanya. Setiap lipatan tampak punya berat dan tekstur, seolah bisa diraba.
Vermeer pun memilih warna yang tidak main-main. Bukan hanya langka, tapi mahal. Ia kerap memakai biru ultramarine, pigmen yang berasal dari lapis lazuli.
Batu mulia itu ditambang di Afghanistan. Pada abad ke-17 harganya melampaui emas. Vermeer rela mengalokasikan sumber daya terbaiknya untuk karya-karya ini (NPR, 2022).
Itu sudah cukup menunjukkan keseriusannya. Para ahli seni mengakuinya sejak lama, jauh sebelum muncul novel atau film. Mereka sudah takjub pada detail yang ia bangun. Keahlian itulah pondasi ketenarannya.