Nama Arya Wiraraja hampir selalu disebut dengan rasa kagum. Ia dikenal cerdik, lihai memainkan siasat.
Banyak yang menilainya sebagai tokoh kunci runtuhnya Singasari sekaligus arsitek awal lahirnya Majapahit. Ceritanya memang penuh intrik politik.
Tapi apakah ia sekadar penipu ulung? Apakah ia digerakkan dendam pribadi? Atau kita perlu melihatnya dari sudut yang lain supaya sosoknya lebih mudah dipahami?
Kisah kehebatan Wiraraja bersandar pada sumber-sumber lama. Pararaton dan sejumlah kidung, termasuk Kidung Harsawijaya, jadi rujukan utama.
Satu hal yang perlu diingat: ini bukan karya sejarah modern yang netral. Mereka adalah karya sastra. Ditulis ratusan tahun setelah peristiwa. Isinya kerap meracik fakta dan mitos.
Ada pula tujuan politik di baliknya, seperti upaya melegitimasi dinasti tertentu (Kompas, 2022).
Bukan tidak mungkin, kisah tentang Wiraraja sengaja dibuat lebih dramatis untuk menegaskan satu gagasan besar: berdirinya Majapahit dipandang sebagai takdir yang agung.
Akibatnya, citra Wiraraja sebagai dalang tunggal bisa jadi dibuat berlebih.
Salah satu pemicu kuat narasi itu adalah cerita pengasingan dirinya. Konon, Raja Kertanegara "membuang" Wiraraja ke Sumenep.
Dari sana muncul anggapan ia menyimpan dendam mendalam, lalu merancang segala tipu dayanya.
Coba kita uji logikanya. Apakah Sumenep benar-benar wilayah buangan?