Mikhail Kalashnikov. Sebuah nama yang berat. Hampir semua orang pernah mendengarnya. Ia pencipta salah satu senapan serbu paling termasyhur di dunia: AK-47.
Banyak yang memujinya sebagai pahlawan. Pahlawan patriotik dari Uni Soviet.
Sebelumnya ia seorang sersan tank, terluka pada Perang Dunia II, lalu menumpahkan seluruh bakat mekaniknya untuk merancang senjata bagi negaranya (History.com, 2019).
Kedengaran mulia? Hanya saja, kisahnya tidak sesederhana itu. Ada sisi lain yang kerap luput. Lebih kusut, lebih manusiawi.
Banyak orang yakin niatnya murni. Ia ingin melindungi tanah air, menahan setiap serbuan musuh.
Tetapi motivasi manusia jarang tunggal. Apakah hanya patriotisme?
Bisa jadi ada ambisi pribadi. Yakni diakui sebagai insinyur, menjadi perancang besar. Bisa juga ada tekanan.
Sistem Soviet saat itu sangat berorientasi militer, mengejar supremasi kekuatan. Dalam kerangka itu, menempatkan Kalashnikov sebagai pahlawan tanpa cela justru menyederhanakan dirinya, juga zamannya.
Di situlah perdebatan lahir, dan warisannya terus dipersoalkan.
Soal desain, AK-47 memang patut diteliti saksama. Rancangannya cerdas. Tahan banting di lumpur, pasir, juga salju.
Penggunaannya mudah, bahkan dengan pelatihan minim. Biaya produksinya rendah. Semua faktor teknis ini memberinya keunggulan.