Sektor pertanian Indonesia kembali jadi bahan pembicaraan. Setelah melewati badai pandemi beberapa tahun lalu, saat banyak sektor ekonomi jatuh. Pertanian justru tetap tegak.
Bukan hanya bertahan, sektor ini mencatat pertumbuhan positif. Data BPS tahun 2020 mengonfirmasi hal itu. Banyak orang menyebutnya pahlawan, penyelamat ekonomi nasional di masa yang sangat sulit (Katadata.co.id, 2020).
Kabar ini jelas menggembirakan. Pertanian menunjukkan daya tahan yang luar biasa.
Tapi ada pertanyaan yang perlu diajukan. Apakah kemampuan bertahan itu sama dengan kekuatan sejati?
Mungkin kita perlu menengok lebih dalam. Pertumbuhan positif memang fakta, tetapi penyebabnya tidak sesederhana yang tampak di permukaan.
Saat krisis, banyak pabrik tutup dan kantor mengurangi karyawan. Jutaan orang kehilangan pekerjaan, terutama di kota-kota besar.
Tanpa banyak pilihan, mereka pulang ke kampung. Banyak yang kembali ke sawah keluarga.
Akibatnya, jumlah pekerja di pertanian naik. Data angkatan kerja merekam pergeseran ini (BPS, 2020).
Dalam situasi itu, pertanian berfungsi sebagai jaring pengaman sosial. Ia menampung mereka yang terlempar dari ekonomi modern.
Jadi pertumbuhan yang terlihat lebih mencerminkan peran sosialnya, bukan lonjakan produktivitas.
Pemerintah kerap menakar keberhasilan dari swasembada beras. Swasembada pangan itu penting, bagian dari kedaulatan negara.