Sebuah teknologi kuno kembali mencuri perhatian: mesin tik. Lama kita menganggapnya cuma relik. Ternyata belum benar-benar mati.
Di tangan seniman masa kini, fungsinya bergeser total. Bukan lagi alat untuk mengetik dokumen resmi, melainkan kanvas yang melahirkan karya visual yang unik.
Dari sini muncul pertanyaan yang menggoda: ini seni yang benar-benar gemilang, atau sekadar unjuk keterampilan teknis yang kebetulan memukau?
Kekaguman publik sering berangkat dari anggapan sederhana: mesin tik itu usang, kaku, mekanis. Lalu alat seperti itu bisa menghasilkan potret wajah, juga pemandangan yang rumit.
Wajar jika rasa takjub meledak. Kita melihat pencapaian besar lahir dari medium yang sangat terbatas.
Tapi bagaimana menilai nilai seninya? Apakah kadar kesulitan otomatis berarti kualitas artistik?
Banyak orang justru terpikat pada prosesnya. Proses itu berlapis, telaten, dan menuntut kesabaran tingkat tinggi.
Perdebatan makin menarik saat dibandingkan dengan medium lain. Lukisan cat minyak bermain pada gradasi warna dan mampu menangkap emosi manusia.
Patung menghadirkan bentuk tiga dimensi yang terasa hidup. Sementara seni mesin tik berjalan dengan belenggu yang jelas: hanya huruf, angka, dan simbol.
Bisakah potret dari mesin tik menyamai kedalaman sebuah lukisan yang indah? Bagi sebagian orang, tidak.
Mereka melihatnya terutama sebagai demonstrasi ketekunan, belum menyentuh inti ekspresi jiwa.