Cerita tentang pembangunan kereta api di masa kolonial biasanya terdengar megah. Semua tentang kemajuan, modernisasi, dan teknologi yang memangkas jarak waktu.
Ambil contoh jalur Batavia ke Surabaya. Dulu, perjalanan itu makan waktu kira-kira dua hari penuh.
Melelahkan untuk penumpang. Lama untuk pengiriman barang. Lalu pemerintah kolonial menggandeng Staatsspoorwegen (SS).
Puncaknya pada 1929, mereka meluncurkan kereta ekspres bernama Eendaagsche Express. Durasi tempuhnya dipangkas menjadi sekitar tiga belas jam (detik.com).
Kedengarannya seperti lompatan besar. Teknologi yang layak dibanggakan.
Tapi, apakah sesederhana itu? Kereta api itu dibangun untuk siapa? Memudahkan hidup semua orang, atau hanya sebagian?
Ada narasi lain yang jarang dibicarakan. Wajar kalau kita bertanya: kemajuan ini jatuh ke tangan siapa, dan siapa yang paling diuntungkan dari deru mesin uap itu?
Kalau dilihat lebih teliti, tujuan utamanya bukan layanan penumpang umum. Arah besarnya adalah ekonomi dan kontrol militer (Kompaspedia Kompas).
Pemerintah kolonial mencium potensi laba dari tanah Hindia Belanda. Hasil buminya melimpah: kopi, gula, karet, teh, juga aneka rempah.
Semua komoditas ekspor perlu diangkut massal dari kebun ke pelabuhan. Proses itu harus cepat dan murah supaya laba maksimal.
Kereta api jadi jawabannya. Ia berubah menjadi mesin penyedot keuntungan bagi pemerintah kolonial dan modal swasta Eropa (Kompas.com, 2021).