Platform digital lagi jadi sorotan. Sorotannya tajam ke media sosial belanja. Wajar kalau banyak orang cemas.
UMKM lokal dikhawatirkan tersisih oleh produk impor yang harganya sangat murah, sampai terasa tidak masuk akal.
Banyak yang lalu menunjuk satu biang keladi: predatory pricing. Ini strategi curang di mana pelaku sengaja menjual barang sangat murah. Bahkan di bawah biaya produksi.
Bukan untuk cari untung di awal. Melainkan untuk mematikan pesaing. Setelah pesaing tumbang, barulah harga dinaikkan sesuka hati.
Kecurigaan ini tidak muncul tanpa dasar. Media kredibel memberitakan temuan menteri soal banjir produk impor murah.
Menteri Teten Masduki pun mencurigai praktik predatory pricing (CNN Indonesia, 2023). KPPU sudah menilai pola seperti ini berbahaya karena merusak persaingan yang sehat (KPPU, 2021).
Tapi apakah sesederhana itu? Belum tentu. Menyamaratakan semua harga murah sebagai praktik curang bisa gegabah. Ada kemungkinan lain. Harga murah bisa lahir dari efisiensi yang sangat tinggi.
Analisis ekonomi global menunjukkan keunggulan manufaktur China yang menekan biaya produksi. Investopedia menulis hal ini pada 2023.
Skala produksi masif dan rantai pasok yang sangat efisien membuat pabrik di sana tetap untung, meski harga jual di sini terasa mustahil. Jadi bukan semata jual rugi. Ini lebih pada adu efisiensi.
Fokusnya juga jangan hanya ke platform. Kita perlu berkaca. Sejauh mana UMKM kita siap? Apakah kualitas produk sudah jadi prioritas? Sudah mahir pemasaran digital?
Platform itu seperti pisau bermata dua. Di satu sisi persaingan makin ketat. Di sisi lain pasar terbuka lebar.