Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perjanjian Plastik Gagal, Siapa Sebenarnya yang Harus Disalahkan?

15 September 2025   05:00 Diperbarui: 10 September 2025   12:35 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak mencari sampah berupa besi di Kanal Banjir Barat (KBB) sungai Ciliwung. (KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Dunia seperti menabrak tembok lagi. Isu ini mungkin yang paling mendesak di lingkungan hidup saat ini.

PBB memfasilitasi perundingan besar tentang perjanjian sampah plastik yang bersifat mengikat secara global. Nyatanya, pembicaraan kembali tersendat. Banyak negara tak kunjung sepakat. Media internasional mencatat kebuntuan itu (Reuters, 2024).

Program Lingkungan PBB, UNEP, memimpin prosesnya, tetapi harapan publik untuk aturan yang kuat menipis. Orang makin pesimis. Planet ini seolah dibiarkan menanggung beban yang terus menggunung, hari demi hari.

Dalam situasi buntu, mencari kambing hitam itu mudah. Tuduhan cepat mengarah ke produsen minyak. Nama yang sering disebut antara lain Arab Saudi dan Rusia, yang konsisten menolak usulan pembatasan produksi plastik (The Guardian, 2024).

Di seberang meja, berdiri Koalisi Ambisi Tinggi, beranggotakan puluhan negara maju dan beberapa negara berkembang. Mereka mendorong aturan yang jauh lebih ketat. Terlihat sederhana, bukan? Ada kubu yang dianggap pro lingkungan dan kubu yang dianggap pro industri.

Masalahnya, cerita itu belum utuh. Coba bercermin sebentar. Siapa yang setiap hari memakai plastik? OECD mencatat fakta yang tidak nyaman: dunia menghasilkan jutaan ton sampah plastik setiap tahun (OECD, 2022).

Permintaan konsumen mendorong angka sebesar itu, disusul kebutuhan industri global. Kita membeli air kemasan. Kita memesan makanan dalam wadah plastik. Kita menikmati kemudahan yang ditawarkan plastik. Selama permintaan sebesar ini tetap ada, produsen punya alasan kuat untuk terus memproduksi.

Ada juga keyakinan lain yang sering kita dengar: satu perjanjian global adalah satu-satunya jawaban. Kedengarannya rapi dan tuntas.

Kenyataannya rumit. Menunggu ratusan negara mengucapkan kata setuju bisa makan waktu puluhan tahun.

Sementara timbunan sampah tak berhenti tumbuh. Bisa jadi, solusi yang kita butuhkan tidak lahir dari ruang rapat.

Ia bergerak dari bawah. Dari komunitas yang mengubah kebiasaan. Dari seorang wali kota yang berani membuat aturan tegas. Dari perusahaan rintisan yang mengembangkan kemasan berbahan terbarukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun