Hubungan rokok dan perempuan memang rumit. Banyak orang memaknai sebatang rokok sebagai lambang kebebasan, bahkan emansipasi. Tapi benarkah gagasan itu tumbuh alami?
Sejarah justru menceritakan hal lain. Ada strategi yang dirancang rapi, dan tujuannya sangat sederhana: keuntungan komersial.
Awal abad ke-20 dunia sedang bergeser. Perempuan menuntut hak pilih, otonomi, dan ruang yang sama dengan laki-laki. Gelombang perubahan terasa di mana-mana.
Di saat para aktivis sibuk berjuang, American Tobacco Company melihat celah pasar yang belum tersentuh: perempuan.
Saat itu merokok bagi perempuan dianggap tabu, penuh stigma. Industri lalu menyusun rencana. Mereka menyewa Edward Bernays, keponakan Sigmund Freud, untuk mengubah pandangan publik (Harvard Business School, 2022; The Guardian, 2015).
Merek yang ingin didongkrak adalah Lucky Strike. Bernays meluncurkan kampanye bertajuk "Torches of Freedom". Idenya tampak sederhana tetapi efektif.
Sekelompok perempuan muda dibayar untuk melakukan aksi simbolis: menyalakan rokok Lucky Strike di ruang publik. Panggungnya dipilih cermat, Parade Paskah di New York, sebuah acara bergengsi dengan sorotan media.
Aksi itu dibingkai sebagai bagian dari gerakan feminis yang menuntut kesetaraan (History.com, 2019).
Tim Bernays sudah lebih dulu mengundang media. Dan liputan besar-besaran pun terjadi. Dampaknya nyata.
Simbol yang sebelumnya lekat dengan dominasi pria mendadak terbaca sebagai perlawanannya. Rokok tampil sebagai ikon kebebasan modern bagi perempuan (BBC Indonesia, 2017).
Apakah kisahnya sesingkat itu? Apakah perempuan semata korban propaganda? Tidak selalu. Menyalahkan iklan untuk segalanya memang mudah, tapi itu menghapus pilihan dan agensi perempuan.