Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mitos Emansipasi di Balik Sebatang Rokok

12 September 2025   23:00 Diperbarui: 5 September 2025   16:49 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perempuan merokok. (Thinkstockphotos via Kompas.com)

Hubungan rokok dan perempuan memang rumit. Banyak orang memaknai sebatang rokok sebagai lambang kebebasan, bahkan emansipasi. Tapi benarkah gagasan itu tumbuh alami?

Sejarah justru menceritakan hal lain. Ada strategi yang dirancang rapi, dan tujuannya sangat sederhana: keuntungan komersial.

Awal abad ke-20 dunia sedang bergeser. Perempuan menuntut hak pilih, otonomi, dan ruang yang sama dengan laki-laki. Gelombang perubahan terasa di mana-mana.

Di saat para aktivis sibuk berjuang, American Tobacco Company melihat celah pasar yang belum tersentuh: perempuan.

Saat itu merokok bagi perempuan dianggap tabu, penuh stigma. Industri lalu menyusun rencana. Mereka menyewa Edward Bernays, keponakan Sigmund Freud, untuk mengubah pandangan publik (Harvard Business School, 2022; The Guardian, 2015).

Merek yang ingin didongkrak adalah Lucky Strike. Bernays meluncurkan kampanye bertajuk "Torches of Freedom". Idenya tampak sederhana tetapi efektif.

Sekelompok perempuan muda dibayar untuk melakukan aksi simbolis: menyalakan rokok Lucky Strike di ruang publik. Panggungnya dipilih cermat, Parade Paskah di New York, sebuah acara bergengsi dengan sorotan media.

Aksi itu dibingkai sebagai bagian dari gerakan feminis yang menuntut kesetaraan (History.com, 2019).

Tim Bernays sudah lebih dulu mengundang media. Dan liputan besar-besaran pun terjadi. Dampaknya nyata.

Simbol yang sebelumnya lekat dengan dominasi pria mendadak terbaca sebagai perlawanannya. Rokok tampil sebagai ikon kebebasan modern bagi perempuan (BBC Indonesia, 2017).

Apakah kisahnya sesingkat itu? Apakah perempuan semata korban propaganda? Tidak selalu. Menyalahkan iklan untuk segalanya memang mudah, tapi itu menghapus pilihan dan agensi perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun