Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Video AI Satir, Fenomena Protes Digital di Indonesia

10 September 2025   13:00 Diperbarui: 2 September 2025   16:48 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Video Polri dengan menggunakan AI. (TANGKAPAN LAYAR X/@DivHumas_Polri via Kompas.com)

Media sosial lagi riuh. Muncul satu gelombang baru yang bikin banyak orang menoleh. Di TikTok dan X, beredar video-video pendek buatan kecerdasan buatan. Aneh, tapi menggigit. Isinya menyindir aparat, menyinggung pejabat yang korup.

Fenomena ini sudah diangkat banyak media (Tirto.id, 2025). Tokohnya fiksi, suaranya sintetis, dialognya hasil rekayasa. Meski begitu, pesan yang terasa justru nyata.

Banyak orang membacanya sebagai protes. Semacam luapan amarah publik yang sudah lama menumpuk. Lelah melihat korupsi, muak menghadapi ketidakadilan yang berulang. Jalur kritik resmi terasa buntu, atau terlalu berisiko. Maka AI dipakai sebagai jalan keluar.

Orang bisa bicara lebih keras, tetapi tetap bersembunyi. Mereka menitipkan kalimat pada tokoh-tokoh fiksi. Wajah asli aman, nama asli tak mudah dilacak. Topeng digital inilah yang meminjamkan suara untuk kegelisahan mereka (Tirto.id, 2025).

Tapi apakah semuanya lahir dari idealisme murni? Dunia konten punya logikanya sendiri. Viralitas adalah mata uang. Kalau lagi tren, orang ikut. Ada yang ingin mengerek jumlah pengikut, ada yang mengejar pemasukan.

Jadinya motif campur aduk. Di satu sisi ada yang memang mau mengkritik tajam. Di sisi lain ada yang sekadar mencari panggung. Membeda-bedakannya nyaris mustahil.

Lalu, efektifkah cara ini untuk mendorong perubahan sosial? Lucu, iya. Sering mengena juga. Namun sebagai mesin pengubah keadaan, ceritanya bisa lain.

Fenomena ini bisa berfungsi sebagai katup pengaman. Emosi publik tersalurkan sebentar, lalu reda. Sejumlah ahli menyebutnya aktivisme pasif (RISOMA: Jurnal Riset Sosiologi dan Komunikasi Agama, 2023).

Partisipasi berhenti di ruang online. Energi untuk turun ke lapangan menguap. Protesnya kandas di layar ponsel, tanpa jejak di kebijakan.

Ada pula bahaya yang tidak kalah serius. Satire yang terus-menerus bisa menormalkan sinisme. Kebobrokan sistem tak lagi dianggap masalah genting, melainkan bahan tertawaan. Akibatnya, publik kian apatis, termasuk apatis secara politik. Harapan akan perbaikan perlahan tergerus (Universitas Airlangga, 2022). Itu bukan semangat perlawanan, melainkan tanda kepasrahan kolektif. Kepasrahan yang dibungkus humor.

Institusi pun serba salah. Menindak kreator akan dipandang represif. Membiarkan begitu saja membuat narasi negatif kian meluas. Kita sudah lihat contohnya. Polri mencoba melawan dengan konten tandingan, merilis video AI versi mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun