Gagasan pemimpin sebagai "bapak" sangat umum. Kita sering mendengarnya di banyak negara.
Pemimpin diharapkan dapat mengayomi rakyatnya. Ia seperti ayah yang melindungi keluarganya.
Ide ini terdengar baik dan menenangkan. Namun di baliknya ada bahaya besar.
Konsep ini bisa melemahkan budaya kritik. Budaya kritik ini sangatlah penting. Budaya ini penting bagi kemajuan demokrasi.
Mengapa orang menyukai pemimpin "bapak"? Jawabannya sering kali sangat sederhana.
Masyarakat memang sangat butuh rasa aman. Ini terasa di negara yang bergejolak. Atau di negara yang baru merdeka.
Figur seorang bapak dapat menawarkan stabilitas. Di Indonesia konsep ini punya akar budaya.
Konsep ini juga punya akar sejarah. Ia dieksploitasi pada era Orde Baru. Tujuannya melegitimasi kekuasaan negara (The National Interest, 1997).
Secara psikologis, keinginan pemimpin kuat sering muncul. Keinginan ini muncul saat ada ketidakpastian (Psychology Today, 2016).
Keinginan ini sering kali datang dari bawah. Rakyat sendiri yang merindukan sosok pelindung.
Jadi ini bukan alat kekuasaan saja. Ini cerminan kebutuhan psikologis dari masyarakat. Mereka butuh ketertiban dan juga perlindungan.