Ada kabar duka dari Rinjani. Seorang turis asal Brazil meninggal. Jatuh ke jurang. Lagi-lagi, kita dengar cerita yang sama. Sampai kapan?
Setiap kali ada berita begini, hati kita miris. Kenapa harus terjadi lagi? Ini bukan sekadar angka statistik. Ini nyawa manusia. Kalau keselamatan di tempat wisata andalan saja begini, bagaimana di tempat lain?Â
Ini soal rasa aman kita saat berlibur di negeri sendiri. Sebuah perasaan yang seharusnya tidak perlu kita pertanyakan, apalagi khawatirkan.
Masalah utamanya adalah keselamatan seringkali dianggap remeh. Padahal, Rinjani punya jalur yang sangat berbahaya, terutama jalur menuju puncak yang terjal dan tidak stabil. Ini bukan lagi rahasia umum, tapi fakta yang terus memakan korban.
Ini bukan soal nasib buruk satu atau dua orang. Data menunjukkan sebuah pola yang mengerikan. Dari tahun 2017 hingga 2024, sudah ada sembilan korban jiwa yang tercatat di kawasan Gunung Rinjani (Kompas.id, 2025).
Angka ini adalah bukti nyata. Ada yang salah secara sistemik. Masalah ini sangat serius. Sampai-sampai Pemerintah Brasil turun tangan. Mereka memantau langsung evakuasi warganya. Warga mereka adalah korbannya (Kemenlu Brasil, 2025).
Keterlibatan negara lain ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi kita. Ini adalah sebuah sinyal. Keamanan wisata kita jadi sorotan dunia.Â
Kita tidak bisa lagi tutup mata. Juga tidak bisa pura-pura. Seolah semuanya baik-baik saja. Pengelola harusnya bisa lebih tegas. Mungkin dengan membatasi jumlah pendaki.Â
Batasan itu harus lebih ketat. Atau berani menutup total jalur berbahaya. Terutama saat cuaca tidak menentu. Jaminan pulang dengan selamat harus menjadi prioritas absolut.
Bukti bahwa keamanan belum menjadi nomor satu sangatlah jelas dan bisa kita lihat dari berbagai sisi. Berikut adalah rinciannya:
- Kejadian Berulang Tiap Tahun.
Tragedi ini bukanlah anomali. Sebelum Juliana Marins, seorang pendaki asal Malaysia juga dilaporkan meninggal dunia di tahun yang sama di jalur pendakian yang berbeda (Kompas.id, 2025).
Pola kejadian yang terus berulang ini menunjukkan bahwa sistem pencegahan kita belum berjalan efektif. Kita hanya bereaksi setelah ada korban, bukan mencegah agar tidak ada korban sama sekali.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!