Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngabuburit di Rel Kereta, Antara Tradisi, Risiko dan Solusi

9 Maret 2025   06:00 Diperbarui: 9 Maret 2025   03:23 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PT KAI melarang sekelompok remaja yang duduk di perlintasan kereta api Kisaran-Rantau Prapat, (6/3/2025). (PT KAI Sumut via Kompas.com)

Tradisi unik ngabuburit Ramadan di Sumut, rel kereta api jadi pilihan tempat tunggu bedug meski penuh risiko.

Bayangkan sore Ramadan di Sumatera Utara. Matahari hampir tenggelam, angin sejuk berembus. Suara azan magrib tinggal hitungan menit. 

Di tengah suasana ini, puluhan orang berkumpul di tempat tak biasa. Rel kereta api. Mereka duduk santai, bercanda, dan menunggu waktu berbuka bersama.  

Bagi orang luar, ini terlihat berbahaya. Tapi bagi warga Sumut, ini tradisi Ramadan. Setiap tahun, rel kereta jadi tempat ngabuburit yang ramai.  

Namun, ada risikonya. PT KAI sudah berkali-kali mengingatkan bahaya ini. Pada 8 Maret 2025, Vice President PT KAI Divre I Sumut, Sofan Hidayah, kembali menegaskan larangan ini. 

Duduk di rel melanggar Pasal 181 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pelanggar bisa didenda Rp15 juta atau dipenjara tiga bulan. Tapi, apakah ancaman ini cukup menghentikan kebiasaan lama?  

Fenomena ini bukan sekadar soal melanggar aturan. Ada alasan sosial dan budaya di baliknya. Sebelum menyalahkan mereka yang ngabuburit di rel, kita perlu memahami penyebabnya.  

Kenapa Harus Rel Kereta?  

Ngabuburit di rel bukan sekadar cari sensasi atau nekat. Ada alasan yang membuat warga memilih tempat ini.  

1. Ruang Publik Kurang  

Menurut Universitas Sumatera Utara, hanya 30% wilayah perkotaan punya taman yang layak (Bisnis.com). Banyak orang tidak punya pilihan tempat untuk duduk santai atau berbincang.  

Rel kereta terbuka, luas, dan gratis. Tidak ada pagar, tidak perlu bayar parkir, tidak ada yang mengusir.  

Kalau ada lebih banyak taman kota, apakah warga tetap ngabuburit di rel?  

2. Rel Sebagai Tempat Kumpul  

Rel bukan cuma jalur kereta, tapi juga tempat warga berkumpul. Lazimnya, orang yang ngabuburit di akan merasa lebih dekat dengan komunitasnya.  

Di sana, anak-anak bermain, remaja ngobrol, orang tua bercanda. Ramadan memperkuat kebersamaan ini. Meski berisiko, mereka tetap datang.  

Bahaya yang Nyata dan Tak Bisa Diabaikan  

Duduk di rel itu berbahaya. Tidak bisa dibantah. Data Dinas Perhubungan Sumut mencatat, kecelakaan di rel naik 20% saat Ramadan tahun lalu (Mistar.id).  

Masalahnya, kereta tidak bisa direm mendadak seperti mobil. Jika masinis melihat orang di jalur, sering kali sudah terlambat untuk berhenti.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun