Konstitusi RI menetapkan tindak pidana korupsi, penyalahgunaan narkoba dan terorisme sebagai kejahatan luar biasa. Korupsi dan narkoba lebih dahulu ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa baru kemudian belakangan terorisme. Berarti terorisme merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara yang ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa.
Meski terorisme anak bungsu namun perhatian dan penindakan hukum pemerintah terhadap terorisme jauh lebih semarak ketimbang korupsi dan narkoba. Setiap tahunnya selalu saja ada musim pemberantasan terorisme. Bahkan yang ditindak bukan saja yang mereka2 yang terbukti melakukan terorisme tapi juga mereka2 yang tidak terbukti melakukan terorisme melainkan hanya sebagai tersangka.
Tindakannya pun bukan sekedar penangkapan, penahanan dan pemeriksaaan tapi juga hukuman tembak mati di tempat kejadian perkara. Ada yang mati akibat penyiksaan sampai mati terhadap tersangka korupsi yang ternyata tidak terbukti melakukan tindak pidana terorisme.
Jauh sebelum terorisme ditetapkan sebagai kejahatan luar biasa, pemerintah getol memerangi korupsi dan narkoba. Di mana2 ada upaya pencegahan korupsi dan narkoba. Hanya saja dalam kenyataannya, selalu saja ada pejabat dan warga negara biasa yang ketangkap basah melakukan kedua kejahatan luar biasa tersebut baik terang2an maupun diam2an.
Di sisi lainnya, getolnya pemerintah memerangi korupsi dan narkoba tetap saja ada pejabat dan warga negara biasa yang tidak pernah ketangkap basah melakukan kedua kejahatan luar biasa tersebut. Mereka tetap saja bebas melakukan kejahatan luar biasa korupsi dan narkoba tanpa ada penegak hukum berani menindaknya.Â
Kalau pun ketangkap basah tapi kasusnya berjalan di tempat dan akhirnya lenyap. Pasalnya, ada sebagian pejabat pemerintah berusaha melindungi pejabat dan warga negara biasa tertentu dari kemungkinan dihukum gara2 melakukan kejahatan luar biasa tersebut. Â
Itu sebabnya kejahatan luar biasa korupsi dan narkoba dari tahun ke tahun terus tumbuh dan berkembang. Pelaku korupsi bertambah dan meluas ke seluruh sektor kehidupan bernegara. Berakibat tidak ada satu pun pejabat pemerintah yang tidak melakukan korupsi baik sedikit maupun banyak. Berupa penyalahgunaan2 kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dan golongan. Terlihat begitu jelas dan gamblang pada pejabat2 yang menjadi wakil2 rakyat dari daerah2 hingga pusat.
Bertambahnya jumlah pelaku korupsi juga berakibat bertambahnya korban2 korupsi berupa beban pajak semakin membengkak, harga2 kebutuhan meroket dan kesenjangan antara si kaya dengan si miskin kian melebar. Bahkan jumlah korban2 korupsi jauh lebih banyak dari jumlah pelaku korupsi mengingat korupsi dapat merobohkan negara.
Begitu pula penjual narkoba dan korban narkoba dari tahun ke tahun terus tumbuh dan berkembang. Jika dahulu hanya menyelundupkan narkoba berjumlah gram-graman saja maka sekarang bukan lagi gram-graman melainkan sudah berton-ton. Masuknya narkoba berton-ton tidak bisa lagi dianggap penyelundupan melainkan sudah termasuk impor narkoba. Berarti kejahatan luar biasa narkoba di negeri ini telah menjadi perdagangan bebas serupa perdagangan bebas beras.
Bertambahnya jumlah pelaku kejahatan penyalahgunaan narkoba berakibat bertambahnya korban2 narkoba dari kalangan pejabat hingga warga negara biasa. Jika korbannya adalah pejabat maka pejabat pengguna narkoba tidak bisa lagi menjalankan kewajibannya bernegara secara baik dan benar.Â
Pastilah timbul penyimpangan2 yang menjurus kepada tindak pidana korupsi yang merugikan negara dan rakyat banyak. Masih mending kalau korban narkoba hanyalah warga negara biasa. Kerugiannya hanya menimpa dirinya sendiri dan keluarganya. Tidak sampai merobohkan negara.