Mohon tunggu...
Ahmad Wicaksono
Ahmad Wicaksono Mohon Tunggu... Pustakawan - Peduli NKRI

Diawali dengan bismilah...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mengapa Intelijen dan Aparat Keamanan Sebaiknya Tidak Handle Kerja Teknis Petugas Medis?

1 Oktober 2020   11:28 Diperbarui: 1 Oktober 2020   12:49 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Ketika ditanyai Tempo mengapa BIN banyak tampil dan terlibat dalam menangani wabah Corona, Jubir BIN mengatakan bahwa Presiden memerintahkan lembaganya untuk mengambil langkah karena situasi memang darurat. Pak Jubir, Wawan Purwanto, mengatakan bahwa ada banyak hal yang dilakukan oleh BIN antara lain menyemprotkan disinfektan pada beberapa wilayah zona merah, melakukan uji cepat, berkoordinasi dengan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman untuk vaksin, mengadakan mobil laboratorium untuk PCR, dan membuat obat Corona bersama Universitas Airlangga dan TNI-AD.

Dalam laporannya, Tempo mengatakan bahwa Presiden perlu memikirkan lagi lebih serius apa yang ia maksudkan dengan memerintahkan BIN untuk mengambil langkah yang perlu dalam melawan wabah Corona. Mengenai lembaga sekelas Intelijen, publik bertanya, apa iya Badan Intelijen Negara mesti melakukan hal teknis seperti ini yang seharusnya bisa dikerjakan oleh masyarakat sipil biasa, khususnya yang memiliki lisensi kesehatan? Tentu maksudnya baik, tetapi sangat tidak elok ketika Lembaga yang seharusnya bergerak dalam kerahasiaan ini keteteran dalam menjalankan tupoksinya dan malah nimbrung dalam urusan lembaga lain.  

Peran BIN secara terbuka ini sebenarnya tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara, di mana tugas BIN adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan dan menyajikan informasi intelijen. Dengan kata lain, tugas BIN sejatinya adalah melakukan analisa dan memberikan informasi terkait hasil analisa tersebut, bukannya terlibat dalam hal-hal teknis, mulai dari bagi masker dan semprot disinfektan, sampai dengan membuat obat dan melakukan tes usap dan tes cepat.

Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2012 Tentang Badan Intelijen Negara tidak dicantumkan bahwa tupoksi BIN adalah mengurus Bidang Kesehatan Masyarakat. Walaupun pandemi seperti Covid-19 ini erat terkait dengan pertahanan negara, tetapi penanganan Pandemi sepenuhnya berada dalam kendali Kementerian Kesehatan. Hal ini diterangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan tercantum dengan jelas pada pasal 2, 3, dan 4.

Pada Pasal 2 dijelaskan bahwa  Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya KLB/Wabah dan dampaknya serta melakukan investigasi dan penganggulangan. Dalam Pasal 3 dikatakan bahwa Sasaran penyelenggaraan dilaksanakan oleh Instansi Kesehatan Pusat, Provinsi,Kabupaten/Kota, dan Instansi Kesehatan di pintu masuk negara. Pada pasal 4, ditulis bahwa Surveilans Kesehatan terdiri atas, salah satunya, surveilans penyakit menular, di mana Covid-19 adalah salah satu jenisnya.  

Selain keluar dari tupoksi, apa yang dilakukan BIN sebagaimana ditulis oleh Tempo, memunculkan kesimpangsiuran. Ini terjadi ketika tes polymerase chain reaction (PCR) atau tes usap yang dilakukan BIN di beberapa daerah memunculkan hasil yang tidak akurat. Pertengahan Juli, ada 17 pegawai di Lembaga Administrasi Negara dinyatakan positif corona oleh BIN yang malah dinyatakan negatif ketika diperiksa ulang di rumah sakit lain. Tidak hanya pegawai Lembaga Administrasi Negara, pekerja di MNC News dan TvOne yang berjumlah puluhan juga mengalami hal yang sama.  

Persoalan lainnya, BIN bersama TNI-AD dan Unair mengembangkan sebuah Obat penangkal Covid-19 dan mengklaimnya sebagai solusi. Sayangnya, BPOM menilai bahwa hasil penelitian tersebut belum lolos menjadi obat yang valid, mengingat riset yang dilakukan tidak sesuai dengan standar akademik. Hal utama yang dipersoalkan adalah uji tahap akhir obat tersebut dilakukan dengan melakukan treatment pada resipien yang berstatus Orang Tanpa Gejala atau yang biasa disebut OTG. Padahal, standard yang sah mensyaratkan representasi berbagai situasi pasien, mulai dari sakit ringan hingga berat. Apalagi, 3 kombinasi obat yang diajukan menghasilkan racikan yang sama sekali diragukan oleh Epidemiolog.

Apa yang dilakukan oleh BIN ini sangat krusial, karena keterlibatannya dalam pandemi ini tidak hanya menerabas aturan tetapi juga mengambil wewenang lembaga lain. Hal ini menunjukkan adanya miskoordinasi yang parah di antara lembaga negara dalam menghadapi Pandemi, sehingga terkesan semua lembaga menggarap hal yang sama tanpa diferensiasi peran yang menunjukkan adanya kesalingtergantungan kerja berdasarkan tupoksi yang ada di masing-masing kelembagaan.

Kementerian Kesehatan seharusnya terlibat pada hal-hal yang terkai dengan penanggulangan pandemi. Sebagai lembaga Intelijen, BIN memasok informasi analitis-stratejik terkait bahaya pandemi bagi keamanan negara dan merekomendasikan lembaga lain untuk mengambil langkah-langkah teknis yang diperlukan. Hilangnya komunikasi di antara lembaga negara yang ada hanya menunjukkan semangat ingin tampil di hadapan publik, sehingga membuat pandemi ini terlihat sebagai momen yang sarat kepentingan politis.

Memang keterlibatan BIN dalam mengatasi Pandemi dilegitimasi oleh Keputusan Presiden yang menegaskan agar pentingnya peran lembaga Intelijen, Polisi, dan Tentara menghadapi Covid-19. Tapi, arahan Presiden, yang memang tidak memiliki kejelasan itu, harus diinterpretasikan kembali sebagai perintah kerja berdasarkan tupoksinya masing-masing. Sejak Jokowi mengeluarkan pernyataan tersebut memang sangat terlihat bahwa pendekatan yang dipakai Jokowi bukan pendekatan ekonomi, apalagi kesehatan, melainkan keamanan.

Ketidakmampuan ahli pikir di lingkungan Istana dalam merumuskan peran yang tepat di antara tiga kluster kerja itu membuat urusan pandemi ini menjadi medan yang dikerjakan semua tanpa adanya spesialisasi kerja. Memang, ketiga pendekatan tersebut mesti berjalan berbarengan, tetapi tumpang tindih peran, di mana lembaga apapun melakukan ketiga hal tersebut sekaligus, sebaiknya harus dihindarkan. Hal ini diperlukan agar tidak ada kesimpangsiuran di tengah masyarakat, sehingga masyarakat tahu kemana mereka harus melangkah. Dengan adanya spesialisasi kerja, terbangun pula etos kerja yang didasari pada semangat profesionalisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun