REVOLUSI “MENTAL” SISTEM PENDIDIKAN
Oleh
Wajiran, S.S., M.A.,
Kemajuan sebauh bangsa sangat ditentukan oleh maju tidaknya dunia pendidikan. Itulah sebabnya lembaga pendidikan adalah kunci pembangunan baik pembangunan secara fisik maupun pembangunan secara mental. Dengan kata lain, kesuksesan di dunia pendidikan menentukan kesuksesan pembangunan sebuah bangsa baik secara ekonomi maupun politik.
Sayangnya dunia pendidikan kita belum berdampak secara menyeluruh terhadap kemajuan sebuah bangsa. Dunia pendidikan masih sebuah utopia, tinggi dalam angan tetapi tidak membumi, masih jauh panggang dari api. Dunia pendidikan masih sekedar mendidik siswanya menjadi buruh “agak” professional (teknisi) belum pada pada tataran tenaga konseptual di dalam dunia kerja. Hal ini bisa dimengerti karena pemerataan pendidikan juga belum menyeluruh bagi masyarakat Indonesia, ditambah lagi masih dipisahkannya antara dunia pendidikan dengan dunia industri. Akibatnya, sering terjadi ketidaktepatan dalam memposisikan SDM pada bukan ahlinya, semua orang dianggap sama dan semua jurusan dianggap sama. Dampaknya, apa yang dilakukan oleh SDM hasil pendidikan tidak pernah maksimal, alias setengah matang.
Lemahnya SDM di Indonesia bukan hanya disebabkan oleh ketidaktepatan tersebut di atas, tetapi juga proses pendidikan yang tidak matang. Proses pendidikan kita masih lebih menekankan pada aspek hafalan dibandingkan analisis/aplikatif. Fenomena ini dapat dilihat dari jenis soal ujian juga proses penilaian dalam evaluasi belajar. Dari tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, proses pengajaran masih berorientasi pada mendidik murid penjadi peniru (penghafal) bukan pencipta, creator. Contoh kongkrit dari kenyataan ini adalah diberlakukannya soal-soal ujian yang hanya menggunakan model multiple choice dari tingkat dasar bahkan sampai perguruan tinggi (lihat: Ujian Nasional). Akibatnya peserta didik hanya menjadi manusia yang berprinsip sepekulatif dalam menentukan atau menyelesaikan persolan bukan hasil kerja kreatif. Peserta didik yang dihasilkan bukanlah mereka yang penuh percaya diri dalam merumuskan penyelesaian persoalan-persoalan riil dalam kehidupan.
Itulah sebabnya harus dilakukan perubahan secara systemik di dunia pendidikan kita. Revolusi mental mengenai proses pengajaran adalah sebuah keniscayaan. Dunia pendidikan harusnya menjadi tempat penggemblengan intelektual, emosional, dan spiritual (baca: kecerdasan). Intelektualitas dikembangkan dengan lebih mengedepankan kemampuan analisis dan problem solving. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengubah soal-soal ujian dalam bentuk esai bukan pilihan ganda. Sementara itu, kemampuan emosional dilatih dengan memberikan nilai seobjektif mungkin tanpa melibatkan rasa kasihan atas hasil jerih payah peserta didik. Kemampuan peserta didik menerima nilai apa adanya akan melahirkan kesadaran akan kemampuannya sekaligus mendorong mereka untuk bekerja lebih giat agar lebih baik. Di samping itu, kecerdasan spiritual ditanamkan dengan kesadaran mereka bahwa sebuah proses belajar adalah perjuangan agar mereka mendapat kehidupan yang lebih baik. Segala kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan mendapatkan pahala yang besar karena belajar adalah jihad yang sangat besar pahalanya di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Gagasan ini tentu akan menghadapi berbagai kendala yaitu semakin beratnya beban dan tanggung jawab para guru/dosen dalam proses belajar mengajar. Namun, hal ini bisa disiasati dengan mengurangi jam tatap muka dalam kelas. Jatah jam dalam kelas bisa digunakan untuk mengoreksi pekerjaan mahasiswa/siswa. Misalnya saja, jika tatap muka dalam satu mata kuliah berlangsung selama 100 menit maka tatap muka dalam kelas bisa dilaksanakan hanya dalam waktu 30 menit atau maksimal 60 menit sedangkan 40-70 menit bisa digunakan untuk mengoreksi pekerjaan mahasiswa. Itu sebabnya proses belajar mengajar tidak hanya bertumpu pada tatap muka dalam kelas tetapi lebih pada tugas membaca di luar kelas. Proses inilah yang akhirnya akan menciptakan kemandirian dalam diri peserta didik.
Di tingkatan perguruan tinggi, system pendidikan harus mengakomodasi interest peserta didik. Tidak semua peserta didik akan melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Itu sebabnya diperlukan adanya pemetaan atau pilihan yang lebih fleksibel, sesuai dengan minat dan bakat mereka. Kenyataan saat ini semua mahasiswa diperlakukan secara sama, dituntut untuk menyelesaikan tugas akhir dengan menulis skripsi. Hal ini tentu menjadi beban bagi mereka yang tidak memiliki interest atau kemampuan di bidang ini. Harusnya dipisahkan bahwa yang mengambil jalur skripsi adalah mereka yang berencana melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi atau bagi mereka yang bekerja di dunia pengajaran atau research. Sedangkan bagi para calon sarjana yang menghendaki untuk bekerja (administrative dll.) setelah lulus, cukuplah dengan mengerjakan ujian kompre (minor skripsi).
Semua gagasan di atas hanya hanya bisa dilakukan jika ada kesadaran semua fihak; dosen dan mahasiswa memegang peranan besar di dalam proses belajar mengajar. Itulah sebabnya terciptanya mahasiswa yang mandiri, kreatif dan dinamis hanya bisa terwujud jika system dan kesadaran dalam proses belajar mengajar sudah terbentu. Tanpa kesadaran secara bersama hal ini tentu akan sangat mustahil bisa memuwujudkan Indonesia Hebat sesperti yang diimpikan oleh pemerintah saat ini. Wallahua’lam bishawab.
Hobart-Australia, 13 November 2014