Mohon tunggu...
Ahmad Wazier
Ahmad Wazier Mohon Tunggu... Dosen -

Manusia awam yang \r\npenuh dengan keterbatasan dan kebodohan. \r\n\r\nSaat ini berstatus sebagai Dosen dan Mahasiswa Program Doktor (S3) di University of Tasmania-Australia.\r\n\r\nMantan pengurus DPD IMM DIY ini menyelesaikan Pendidikan Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada.\r\nPengalaman organisasi: Sekretaris Pusat Pengembangan Bahasa (dua periode), Wakil sekretaris MTDK PWM DIY dan Sekjen KAMADA, Ketua Umum KORKOM IMM, Waka 1 IMM PSH,. Jabatan terakhir sebagai Kepala Pusat Pengembangan Bahasa (2 Periode).\r\n\r\nAktivis alumnus Pondok Pesantren Ar-Ruhamaa’ ini mempunyai minat bidang kebijakan politik Amerika Serikat, ideologi dan agama.\r\n\r\nAktif di beberapa perkumpulan dan juga latihan menjadi pembicara dalam diskusi, training, seminar atau konferensi. bisa di hub di: Twitter: @WazierW wazier1279@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cerita Orang Bodoh Mendapatkan Beasiswa S3 di Luar Negeri

22 Maret 2015   13:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:17 5828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Cerita Orang Bodoh Mendapatkan Beasiswa S3 di Luar Negeri

By

Mr. AW

Saya hanyalah orang yang bodoh. Sejak SD, SMP sampai S2 hanya mendapat nilai pas-pasan. Masa SD adalah masa yang paling kelam bagi saya. Pada level pendidikan ini saya hampir tidak lulus. Ada beberapa mata pelajaran yang tidak memenuhi standar kelulusan. Dengan terpaksa, orang tua saya harus merogoh kocek untuk menebus kekurangan saya untuk beberapa mata pelajaran.

Setelah lolos dari prahara ketidakmampuan mengerjakan soal pelajaran di sekolah dasar. Kebodohan saya pun berlanjut sampai saat saya menempuh pendidikan di level Sekolah Menengah Pertama. Hal ini terbukti dengan nilai raport saya yang pas-pasan. Sejak kelas satu sampai kelas dua nilai tidak pernah lebih dari 7. Kalau pun ada nilai 7 itupun hanya segelintir mata pelajaran yang memang tidak sulit, tidak membutuhkan pemikiran. Dalam rentetan nilai yang tertera di dalam raport, hanya nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia yang paling bagus. Itupun nilainya tidak pernah lebih dari 7.

Saya tidak ingat seberapa buruknya nilai mata pelajaran yang lain. Saya hanya selalu ingat nilai mata pelajaran bahasa Inggris yang pas-pasan. Mata pelajaran bahasa Inggris selalu menjadi kenangan bukan karena suka mata pelajarannya, tetapi karena gurunya yang super galak (hehehehe). Sesuai dengan kepribadian saya yang pemalu. Bahasa inggris selalu menjadi momok ketika saya sekolah di SMP. Setiap kali guru meminta saya untuk mengucapkan kata dalam bahasa Inggris saya selalu keringat dingin, karena bingung tidak bisa mengucapkan. Lebih lucu lagi teman-teman di sekolah selalu tertawa duluan sebelum saya mengucapkan kata-kata. Namun demikian, karena nasib baik yang masih memihak saya sehingga saya masih bisa lulus dengan nilai pas-pasan. Bahkan saya lihat-lihat nilai kelulusan saya untuk mata pelajaran matematike adalah dibawah tiga (alias dua koma, hahahahaha...).***

Meskipun saya sekolah di pedalaman, wilayah lampung utara, entah kenapa saya memiliki semangat dan cita-cita yang tidak sederhana (pengenya jadi Menteri hehehe). Oleh karena itu setamatnya dari SMP saya dihijrahkan orang tua untuk menuntut ilmu di kota pelajar, Jogjakarta. Saya sampai lupa siapa yang berinisiatif untuk sekolah di kota pelajar ini. Untungnya saya tidak tahu kalau di kota pelajar itu nilai siswanya rata-rata 8 bahkan lebih dari itu. Saya merasa beruntung karena ketidaktahuan itu sehingga saya tidak merasa minder saat membawa raport SMP ke sebuah sekolah swasta di wilayah Gunungkidul saat itu.

Sebagai seorang desa (aliah NDESO) tentu saya tidak tahu sekolah mana yang cocok untuk saya. Saat menentukan jurusan pun saya tidak tahu menahu. Saya hanya berprinsip jurusan yang saya ambil bisa siap bekerja. Saat itu yang mengantarkan mendaftar ke sekolah adalah paklek saya yang seorang guru, sekaligus sebagai sekretaris desa sehingga jurusan yang saya pilihpun sesuai pilihan paklek saya, yaitu jurusan sekretaris.

Selama sekolah di SMK ada peningkatan sedikit nilai yang saya dapatkan. Jika saat di SD dan SMP saya menduduki ranking pertama dari belakang, maka di caturwulan (kalau tidak salah) saya mendaptkan rangking 5 teratas. Mungkin ini sebuah keajaiban bagi saya, karena saya orang desa dengan nilai pas-pasan saat sekolah di kota justru bisa meraih peringkat yang lumayan membanggakan  (Hehehee.....). Mendapatkan peringkat ke lima adalah sebuah motivasi bagi saya, oleh karena itu pada saat caturwulan kedua saya pindah dari rumah pakde ke sebuah Pondok Pesantren dengan maksud mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya.

Selama tinggal di Pesantren semangat belajar saya semakin meningkat. Di tempat ini saya bertemu dengan berbagai orang yang memiliki berbagai kelebihan. Ada yang pandai di bidang agama, pertanian, guru,  dan lain sebagainya. Keberagaman ini semakin memacu semangat belajar saya sehingga setelah mendapat peringkat ke lima, secara berturut-turut saya mendapatkan perintkat 1 sampai saya lulus dari SMK itu. Hanya sekali menduduki peringkat dua di salah satu caturwulan tetapi saya lupa di kelas berapa. Bahkan saat pengumuman kelulusan, saya mendapat nilai terbaik dari seluruh siswa di sekolah itu.

Keberhasilan saya mendapat peringkat pertama di SMK semakin memotivasi saya untuk melanjutkan kuliah. Meskipun orang tua saya dari golongan ekonomi pas-pasan, saya “memaksakan” kehendak untuk tetap bisa kuliah dengan berjanji akan sambil bekerja. Alhamdulillah setelah meyakinkan dengan perjuangan yang cukup lama, akhirnya kedua orang tua saya mengabulkan keinginan saya. Meskipun saya baru bisa merealisasikan janji saya kuliah sambil bekerja setelah semester 6. Saat itu saya diberi kesempatan untuk mengajar Bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus yang lumayan terkenal pada masa itu.

Selama kuliah, saya tidak menghadapi kendala yang berarti. Mungkin perjuangan orang tua tidak kepalang tanggung demi mencarikan biaya kuliah saya. Saya merasa menikmati masa-masa kuliah dengan semangat. Saat masih kuliah saya tidak berorientasi pada nilai seperti saat masih di SMK. Saya berprinsip nilai hanyalah syarat administratif sehingga saya harus lebih banyak berkarya. Akibatnya selama menempuh pendidikan sarjana waktu saya lebih banyak dihabiskan di organisasi. Saya menduduki organisasi kemahasiswaan dari level anggota sampai ketua, dari level jurusan, universitas sampai tingkat Wilayah. Selama 5 tahun lebih waktu saya habis di organisasi. Hal yang membahagiakan, nilai saya tidak terlalu buruk dibandingkan dengan teman-teman aktivis lainnya. Meskipun aktif di organisasi saya masih bisa meraih IPK 3 lebih.

Berkat pengalaman mengajar di lembaga kursus dan juga di organisasi menjadikan saya semakin percaya diri (meskipun hanya percaya pada diri sendiri hehehe). Setelah menempuh pendidikan sarjana selama 5 tahun saya pun tidak sulit mencari pekerjaan. Pekerjaan pertama yang saya peroleh setelah lulus adalah diterima bekerja di sebuah organisasi non-profit, Rohe Foundation. Yaitu sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial keagamaan. Namun dimikian, saat masih mengikuti masa training kebetulan saya juga mendapat kesempatan untuk mengikut seleksi untuk menjadi dosen.

Pada saat itu impian saya memang menjadi dosen. Dengan menjadi dosen saya berkeyakinan saya bisa mengembangkan diri saya ke profesi lain secara mudah. Alhamdulillah, tanpa menunggu terlalu lama setelah menjadi sarjana saya harus menerima kenyataan diterima sebagai dosen di alma mater. Saya katakan demikian karena sesungguhnya saya adalah orang yang tidak suka Bahasa Inggris tetapi harus ngajar di jurusan Sastra Inggris (hehehe...).

keberuntungan saya berlanjut saat saya sudah menjadi dosen. Meskipun dengan perjuangan yang tidak mudah akhirnya saya diberi kesempatan untuk mendapatkan bantuan dana (Pinjaman Kantor) untuk melanjutkan kuliah di UGM. Mengingat kemampuan saya yang pas-pasan, saya hanya mendapatkan pinjaman dengan perjanjian yang sangat berat bagi saya. Tetapi bagaimanapun saya tetap bersyukur karena perjanjian yang sangat berat itulah akhirnya saya harus menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana saya tepat waktu. Hal itu berbeda dengan mereka yang mendapatkan beasiswa yang bisa berleha-leha karena tidak perlu memikirkan mengembalikan uang ke lembaga tempat bekerja.

Setelah lulus dari pendidikan Master (S2), saya kembali mengajar di alma mater saya. Kelulusan saya dari S2 bukanlah hal yang luar biasa karena rasanya cukup mudah bagi saya untuk lulus. Entah mengapa jika banyak teman-teman saya yang belum pada lulus, tetapi saya merasa lulus dari pasca sarjana UGM bukanlah hal yang luar biasa. Saya pun tidak mengikuti acara wisuda saat lulus dari UGM. Sehingga teman-teman bahkan keluarga saya pun tidak ada yang tahu kalau saya sudah lulus Pasca Sarjana. Hanya bagian SDM kantor tempat bekerja yang mengetahui kalau saya sudah lulus dari UGM.

Setelah lulus dari UGM dengan nilai pas-pasan (sekali lagi hanya tiga koma..). Saya masih ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri. Impian saya menempuh pendidikan S3 sebenarnya tidak muluk-muluk, yaitu hanya ingin kuliah di Malaysia. Tetapi karena berbagai dorongan dan motivasi dari lingkungan saya yang pada kuliah di Australia, akhirnya saya pun terbawa arus untuk mendaftar kuliah di Negara Kangguru. Setelah menjalani berbagai tantangan dan hambatan, akhirnya saya memiliki kesempatan untuk kuliah di negara makmur ini. Perjuangan saya untuk mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri tentu bukanlah perkara mudah mengingat IPK saya yang pas-pasan. Sebuah keberuntungan bagi saya adalah bahwa universitas-universitas di negara ni bukanlah negara pemuja IPK sehingga setiap mahasiwa calon S3 tidak dilihat dari berapa tinggi IPKnya. Di negeri ini tulisan dan gagasan orisinal lebih dihargai dari seorang calon mahasiwa doktor.

Keberuntungan nampaknya memang masih memihak saya, karena saat mendaftar beasiswa saya justru mendapat dua beassiwa sekaligus. Awalnya saya mendapat beasiswa dari Universitas yang dimana saya ingin kuliah, namun karena beasiswa beasiswa yang saya dapat dari Australia hanya beasiswa SPP, maka saya pun harus mendaftar beasiswa lain (biasiswa DIKTI). Kesalahan mengisi form pendaftaran mengakibatkan saya hanya mendapatkan beasiswa tuition fee, karena saya tidak mencentang kolom beasiswa untuk biaya hidup. Bagaimana pun itulah keberuntungan yang saya dapatkan setelah melalui perjuangan dan rintangan yang melelahkan akhirnya saya pun mendapat beassiwa dua sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Sayangnya, sesuai dengan ketentuan bahwa seorang mahasiswa tidak boleh mendapatkan beasiswa double.

Demikianlah perjalanan panjang saya untuk bisa mewujudkan cita-cita mencapai pendidikan yang layak. Mengingat saya adalah orang bodoh maka kesempatan untuk menempuh pendidikan doktor di luar negeri adalah momen yang luar biasa. Semoga kesempatan ini menjadi bagian dari upaya saya menghilangkan kebodohan ini.

Akhirnya, semoga cerita ini bisa menginspirasi bagi pembaca agar berusaha lebih keras mewudjudkan cita-cita, karena siapapun berhak mendapatkan apa yang diimpikannya sepanjang mau berusaha. Kesuksesan bukan semata-mata ditentukan dari intelektual semata tetapi kecerdasan emosional dan spritual memiliki peran lebih besar dalam kesuksesan hidup kita. Jika yang bodoh saya bisa, tentu anda yang lebih cerdas akan lebih mudah mencapainya.....

Salam...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun