Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Freelancer - Alumni UIN SGD Bandung

Orang kampung di Kabupaten Bandung. Sehari-hari memenuhi kebutuhan harian keluarga. Beraktivitas sebagai guru honorer, editor and co-writer freelance, dan bergerak dalam literasi online melalui book reading and review.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Covid-19, Ramadan, dan Syawal

11 Mei 2021   05:45 Diperbarui: 11 Mei 2021   14:19 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Bulan suci Ramadan akan berakhir berganti bulan Syawal. Ini tahun kedua Ramadan dan Syawal dalam masa pandemi. Masih waswas dan terus dihinggapi ketidakpastian untuk kembali pada kehidupan normal.

Sains dan teknologi yang terkait dengan medis sampai kini belum mampu mematikan atau memusnahkan covid19. Ilmuwan dunia hanya mampu ciptakan vaksin sebagai ikhtiar melindungi manusia dari corona. Di sini saya makin percaya bahwa ilmu pengetahuan tidak dapat diandalkan sebagai solusi. Tawakal kepada Ilahi tampaknya yang kini bisa dilakukan setelah diusahakan dahulu dengan vaksin.

Kalau diperhatikan di sekitar tempat tinggal saya di Kabupaten Bandung, kian hari kesadaran manusia atas pandemi ini tidak meningkat. Malah cenderung abai dengan protokol kesehatan (prokes). Kasus meningkatnya kematian akibat corona di India dan membludaknya pasien corona mutasi baru di Malaysia tidak menjadikan orang-orang takut. Sebaliknya makin menentang, kian tidak peduli dengan aturan. Bisa dicek di jalan atau supermaket kini masih lolos tiga sampai lima orang berkeliaran tanpa masker. Saat di jalan pun kalau duduk menanti angkot, bahkan dalam angkot hanya satu atau dua orang yang pakai masker. Sopir angkot pun banyak yang tidak memakainya.

Begitu pun saat hadiri Shalat Jumat, yang memakai masker sekira lima sampai delapan orang. Saya pakai masker pun dilihatin jamaah lain. Entah kenapa kian hari semakin abai dengan prokes?

Di restoran, kaki lima, bahkan warung tegal  pun tidak ketat dalam prokes. Apalagi pasar dan pusat perbelanjaan jangan disebut. Abai dan seolah hidup dalam normal. 

Saya khawatir kasus India dan Malaysia dialami masyarakat Indonesia. Utamanya pascalebaran ini karena dalam pemberitaan media online dan offline banyak orang yang sengaja mudik dan tidak patuh dengan aturan pemerintah. 

Mereka tidak khawatir bawa petaka ke kampung halamannya. Rasa rindu kadang sulit dibendung, bahkan tak bisa dicerahkan walau bagaimana pun.

Syawal dan pascalebaran ini agenda pendidikan bersiap dengan tatap muka yang terbatas. Jika kondisinya mirip dengan India, saya kira meski dipertimbangkan ulang untuk sekolah offline di daerah yang memang zona merah.

Terakhir, saya pun merasa rindu dengan kampung halaman di Garut, Jawa Barat. Sudah sekira lima tahun tidak ziarah ke makam orangtua. Tidak bertemu saudara dari orangtua. Hanya doa dan doa saja yang dipanjatkan kepada mereka.

Selamat Idul Fitri. Semoga kasus covid India tidak terjadi di Indonesia. Semoga masyarakat Indonesia tumbuh kesadaran pentingnya sehat lahir batin, taat aturan  dan memilki kemampuan memelihara keutuhan bangsa Indonesia dari aneka badai hoax. Aamiin Ya Robbal 'alamiin. *** (ahmadsahidin)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun