Â
Jika aku dianggap berdosa karena cinta kepada keluarga Muhammad:Â
Maka aku tidak akan bertaubat dari dosaku itu.
Kalau ditelusuri pada karya ulama, bukan hanya dicantumkan pada kitab sejarah, tetapi pada kitab lainnya seperti syair Jalaluddin Rumi yang menyebut kecintaan pada "telinga" harus disertai dengan cinta pada "anting." Cinta kepada Nabi Saw selayaknya cinta pula pada keluarganya. Ada juga sekadar komentar dari ulama atau sikap simpati dan ungkap duka cita. Tentang ini kalau diriset akan menjadi karya tersendiri.
Tradisi dan Naskah
Tidak hanya karya ulama klasik, penulisan sejarah 10 Muharram dan tragedi Al-Husain pun tersaji pada naskah (filologi) dan tradisi masyarakat Indonesia.
Mengapa bisa masuk? Ini hubungannya dengan sejarah masuknya agama Islam ke Nusantara periode awal sampai masa kerajaan Islam terbentuk. Yang jelas dengan hadirnya Islam di Nusantara, masuk pula memori kolektif tentang tragedi Karbala dalam khazanah Nusantara.
Tentang tradisi dan budaya, sebut saja bubur suro di Aceh, malam suro di Yogyakarta, tabot di Bengkulu, Hoyak Tabuik di Padang Pariaman, peringatan asyura di Makassar dan daerah Banten.
Di Garut dan Cianjur (Jawa Barat) tradisi asyura dilakukan dengan empati pada anak yatim melalui pemberian uang sedekah pada anak yatim sambil mengusap kepalanya. Ada pula yang pada hari kesepuluh Muharram itu berbagi bubur merah dan putih.Â
Warna merah pada bubur dari gula aren ditaburi irisan cabe merah. Untuk bubur putih pakai irisan daging ayam tanpa kulit. Bubur itu diberikan pada tetangga dan jamaah masjid yang gelar pengajian muharram.
Sementara dalam bentuk naskah Nusantara tersaji dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa dengan aksara pegon. Di antara naskah Nusantara yang isinya terkait dengan Al-Husain dan peristiwa Karbala, yaitu (1) Hikayat Hasan Husen Tatkala Kanak-kanak, (2) Hikayat Hasan Husen Tatkala akan Mati, (3) Hikayat Tabut, (4) Hikayat Muhammad Hanafiyyah, (5) Hikayat Anbiya, dan lainnya.