Sejarah mengisahkan tragedi Karbala ini diturunkan secara lisan dari para saksi sejarah. Turun temurun. Di antaranya keluarga Al-Husain dan pengikutnya yang dijuluki kaum Muslim Syiah. Dari mereka ini informasi historis Karbala sampai pada para penulis sejarah (muarikhin).
Sekira 90 tahun setelah kejadian Asyura di Karbala, Abu Mikhnaf (wafat tahun 157 H.)--yang aslinya bernama Yahya bin Said bin Mikhnat--menuliskan peristiwa heroik itu dalam kitab Maqtal Al-Husain.Â
Tentu metode saat itu yang digunakan oleh Abu Mikhnaf berupa wawancara secara lisan dan mengandalkan memori kolektif dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa Karbala.Â
Abu Mikhnaf menyebut nama-nama orang yang menyaksikan kejadian tragedi Karbala dalam kitabnya. Di antaranya Muhammad bin Qays, Harits bin Abdillah bin Syarik Al-Amiri, dan sebagainya. Â Mereka ini yang menjadi sumber lisan dari penyusunan kitab Maqtal Al-Husain karya Abu Mikhnaf.Â
Saya kira Abu Mikhnaf punya keberanian untuk menyampaikan sejarah secara tertulis dan diwariskan pada generasi selanjutnya hingga sampai pada zaman kita.
Selain Abu Mikhnaf, ada ulama Ahlussunnah yang simpati sehingga menyajikan pula tragedi Karbala itu pada kitab yang ditulisnya. Sebut saja penulis kitab Fathul Bari, yaitu Ibnu Hajar Asqalani menuliskan percikan tragedi Al-Husain yang dikutip dari Al-Bukhari (kitab Al-Manaqib, bab manaqib al-Hasan wa al-Husain, nomor 3465), Jalaluddin Suyuthi menuliskan pada Tarikh Al-Khulafa, dan Imam Syafii pun memuat syair tentang Al-Husain.
Berikut ini "Martsiyah" karya Imam Syafii tentang Al-Husain dan tragedi Karbala:
Hatiku mengeluh, karena hati manusia sedang merana;
Kantuk tak lagi datang, susah tidur membuatku pusing.
Wahai, siapa yang akan menyampaikan pesanku kepada Husain,
Â