Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Toleran dari 15 Tokoh Keislaman

15 Desember 2018   18:54 Diperbarui: 15 Desember 2018   19:04 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Irwan Masduqi menulis buku "BERISLAM Secara Toleran: Teologi Kerukunan Umat Beragama" (Bandung: Mizan, 2011). Buku ini tebal 310 halaman. Diberi pengantar oleh M. Dawam Rahardjo, seorang cendekiawan Muslim ternama yang fasih bicara fenomena sosial dan Islam Indonesia.

Dalam buku ini, Masduqi memuat lima belas pokok pemikiran para tokoh modern, baik dari Muslim maupun non-Muslim. Di antaranya Mohammed Arkoun, Abed al-Jabiri, Gamal al-Bana, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrour, Yusuf Qaradhawi, Abdurrahman Wahid, Fethullah Ghulen, John L. Esposito, Yohanan Freidmann, Abdul Basit bin Yusuf Gharib, dan Sayyid Qutb. Mereka ini dianggap yang punya percik pemikiran terkait kerukunan dan gagasan toleransi beragama.

Yang menarik dari karya Masduqi ini adalah kemampuan meramu pokok pemikiran toleran dari setiap tokoh yang dipilihnya. Ia memilih dan memilah karya mereka, yang disinyalir ada gagasan toleransi. Dan ternyata para tokoh tersebut memiliki gagasan toleransi yang secara umum diambil dari teks agama, al-Quran dan riwayat Rasulullah saw. Kemudian diberi penafsiran dan dihubungkan dengan fenomena kerukunan antaragama.

Setelah tuntas baca buku ini, saya berkesimpulan ternyata agama itu seperti kertas putih. Bisa digambari atau ditulisi dengan sekehendak orang yang mengaku punya kertas tersebut. Misalnya kaum intoleran mendapatkan ayat dan riwayat sebagai legitimasi atas perilakunya dan kaum toleran pun merujuk pada teks agama yang sumbernya sama dengan kaum intoleran. Ini menarik dan unik. Sebuah teks agama bisa dimanfaatkan oleh siapa pun, bahkan dibawa dalam keburukan. Dan memang persoalan tafsir teks agama menjadi biang masalah. Karena setiap orang berilmu, dipastikan punya kewenangan untuk melakukan interpretasi atas teks agama. Seharusnya ada otoritas yang menentukan kesahihan tafsir atas teks agama.

Meski uraian buku ini mirip makalah untuk perkuliahan studi tokoh dan pemikiran, secara umum sangat manfaat. Dengan buku ini saya bisa memahami pergolakan pemikiran cendekiawan tentang upaya mengarahkan umat melalui pemikirannya menuju masa depan dunia Islam yang damai dan toleran. Pilihan untuk menjadi seorang pluralis dan toleran atas ikhtilaf mazhab maupun bersikap positif atas keyakinan orang lain yang beda agama atau terbuka dengan perbedaan, telah diberi argumen oleh para tokoh yang dituliskan dalam buku ini.

Terakhir, saya kutipkan penegasan dari penulis buku: "...beriman secara terbuka adalah beriman secara percaya diri, dialogis-empatik, menghindari kekerasan atas nama agama, menghargai perbedaan, mengayomi minoritas, dan menyadari keragaman sebagai sebuah keniscayaan. Dengan beriman secara terbuka, kita bisa berislam secara toleran" (hal. 265).

Saya setuju dengan sikap toleran. Dan sekarang ini sikap ini sedang diuji di negeri kita sendiri. Tampak ada yang bertahan dengan toleransi, juga ada yang coba merusaknya. Semoga yang terakhir ini sekadar dinamika menuju masyarakat yang toleran. *** (ahmad sahidin, alumni uin sgd bandung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun