Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan dengan kembali terjadinya aksi teror di Indonesia. Kali ini kota yang menjadi target pengeboman adalah Surabaya. Kota yang selama ini tenang, tiba-tiba dikejutkan dengan ledakan anggota jamaah anshorut daulah (JAD). Ironisnya, pelaku ledakan di tiga gereja, rusun wonocolo dan mapolresta Surabaya, merupakan tiga anggota keluarga.Â
Bahkan, istri dan anak-anak dari ketiga keluarga tersebut, juga diajak serta untuk menjadi pelaku peledakan. Bisa jadi, baru kali ini terjadi, ledakan bom dilakukan oleh satu keluarga, dari bapak, ibu dan anak-anak. Tidak habis bikir. Bagaimana bisa anak yang masih lugu, yang masih bisa mewujudkan mimpinya itu, justru diarahkan untuk kepentingan yang tidak benar.
Beberapa saat setelah kejadian teror di Surabaya, pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan RUU Antiterorisme menjadi undang-undang. Kesepakatan ini tentu perlu disambut gembira. Semoga pengesahan UU Antiterorisme ini, bisa menjadi energi baru dalam upaya pemberantasan terorisme di Indonesia.Â
Bahwa dalam upaya mewujudkan Indonesia damai yang bebas dari aksi teror, diperlukan campur tangan semua pihak. Tidak bisa hanya diserahkan ke Densus 88 dan BNPT saja. Tapi juga diperlukan keterlibatan tentara. Tidak hanya itu, semua elemen masyarakat juga ikut peduli, dalam mewujudkan perdamaian di bumi Indonesia.
Pekan lalu, presiden Joko Widodo telah mengingatkan kepada kita semua untuk selalu waspada. Karena indoktrinasi radikalisme dan terorisme, telah menyasar ke keluarga, lembaga pendidikan, dan sektor lain. Beberapa hari lalu, Densus 88 kembali menangkap tiga orang terduga teroris di Probolinggo, Jawa Timur. Yang mengejutkan, satu diantaranya ternyata seorang pegawai negeri sipil (PNS).Â
PNS tersebut bertugas di dinas pertanian kabupaten Probolinggo. Di Jambi, seorang anggota polisi ditangkap, karena diduga telah terpapar ideologi terorisme. Polisi yang dimaksud bukanlah anggota jaringan teroris. Anggota tersebut masih terus menjalni pemeriksaan yang intensif.
Di lembaga pendidikan, murid, mahasiswa hingga tenaga pengajar dan dosen, juga banyak yang terpapar ideologi radikalisme dan terorisme. Jauh sebelum itu, sudah sering ditemukan mahasiswa yang terpapar radikalisme. Tidak sedikit diantara generasi muda itu yang menjadi radikal, dan bersedia untuk melakukan tindakan teror. Bahkan tenaga guru hingga dosen pun, juga pernah ditemukan ada yang terpapar. Di lembaga pendidikan sekelas pendidikan anak usia dini (PAUD) di Depok Jawa Barat, juga pernah ditemukan buku bacaan berisi ajaran jihad dengan bom bunuh diri.
Lalu, masihkah kita hanya berdiam diri? Haruskah kita hanya menggantungkan tugas memberantas radikalisme dan terorisme ini ke aparat keamanan? Setelah RUU Antiterorisme disahkan menjadi UU, harus dijadikan momentum untuk menguatkan komitmen dalam pemberantasan terorisme. Komitmen itu juga harus diwujudkan dalam setiap ucapan dan perilaku.
Bahwa ujaran kebencian harus terus dilawan dengan pesan damai. Aksi persekusi harus dilawan dengan keramahan, yang pada dasarnya merupakan sifat dasar masyarakat Indonesia. Sudahkah Anda menjadi seorang Indonesia? Salam.