Mohon tunggu...
ahmad rendy firmansyah
ahmad rendy firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Ekonomi Pembangunan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Indonesia di Persimpangan: Dari Bayang-Bayang IMF menuju poros BRICS

23 September 2025   02:31 Diperbarui: 22 September 2025   14:50 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sri Mulyani | Bloomberg / Getty Images

Dunia sedang menyaksikan pergeseran fundamental dalam tatanan ekonomi global. Kebijakan ekonomi yang selama puluhan tahun bertumpu pada sistem Bretton Woods dan dominasi dolar AS mulai tergoyahkan. Pergantian Sri Mulyani Indrawati dengan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan pada September 2025 menandai berakhirnya era ortodoksi ekonomi neoliberal di Indonesia (Pojok Jakarta, 2025). Tidak hanya menjadi momen politik, peristiwa ini juga mencerminkan pergeseran paradigma yang lebih luas, ketika negara-negara berkembang mulai menuntut ruang kedaulatan ekonomi yang lebih nyata.

Sri Mulyani membangun reputasinya sebagai teknokrat handal yang setia pada resep-resep Washington Consensus. Kariernya yang gemilang di Bank Dunia dan kemudian sebagai Menteri Keuangan Indonesia selalu diwarnai pendekatan yang sangat pro-pasar dan kedisiplinan fiskal ketat. Setiap kebijakan yang diambilnya mengacu pada standar-standar lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World Bank. Namun, pendekatan tersebut justru menimbulkan dilema ketika berhadapan dengan kenyataan sosial-ekonomi Indonesia yang kompleks (Pojok Jakarta, 2025).

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia memang menikmati stabilitas fiskal, tetapi harga yang harus dibayar cukup mahal. Ketimpangan ekonomi semakin melebar, ketergantungan terhadap utang luar negeri tidak berkurang secara signifikan, dan sektor industri domestik tetap rapuh. Resep austerity dan liberalisasi pasar terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan struktural. Banyak kebijakan fiskal justru dinilai lebih memihak pada stabilitas makro dibanding kesejahteraan rakyat kecil.

Di saat yang sama, dunia bergerak menuju konfigurasi baru. BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) yang awalnya hanya forum konsultasi, kini berkembang menjadi blok ekonomi dengan pengaruh nyata. Kehadiran New Development Bank (NDB) memberi opsi pembiayaan pembangunan yang berbeda dari IMF dan World Bank. Tidak ada lagi syarat politik atau kebijakan ekonomi ketat yang kerap mengekang negara berkembang (Pojok Jakarta, 2025). Model ini jelas lebih menarik bagi negara-negara yang lelah dengan intervensi Barat.

China melalui inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) juga memperlihatkan alternatif pembangunan yang tidak lagi bergantung pada hegemoni dolar. Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, melihat peluang besar dalam skema ini. Dengan kata lain, BRICS membuka ruang gerak yang lebih fleksibel dalam percaturan ekonomi global.

Realitas kemudian menyalip teori. Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menghadapi tekanan berat: inflasi tinggi, defisit neraca perdagangan, hingga ketergantungan pada komoditas mentah yang tidak kunjung teratasi. Strategi liberalisasi pasar ternyata tidak cukup ampuh menopang ketahanan ekonomi. Di sisi lain, negara-negara seperti Vietnam dan Thailand yang mulai mengadopsi pendekatan lebih mandiri berhasil meningkatkan daya saing.

Pergantian Sri Mulyani dengan Purbaya Yudhi Sadewa mencerminkan sinyal penting: Indonesia mulai meninggalkan bayang-bayang Washington Consensus. Purbaya, dengan latar belakang teknokrat lokal, membawa pendekatan yang lebih pragmatis, fokus pada pembangunan domestik serta penguatan daya saing nasional (Pojok Jakarta, 2025).

Lebih jauh, munculnya diskursus kedaulatan ekonomi memberi arah baru dalam kebijakan publik. Konsep industrialisasi berbasis sumber daya domestik, hilirisasi, serta kerjasama Selatan-Selatan menjadi semakin relevan. Dengan semakin banyaknya negara yang bergabung atau berafiliasi dengan BRICS, peluang Indonesia untuk memperkuat posisinya dalam tatanan baru semakin terbuka lebar.

Pergeseran poros ekonomi dunia dari Washington-London menuju Beijing-Moscow-New Delhi adalah kenyataan yang sulit dibantah. Indonesia memiliki posisi strategis untuk menjadi bagian dari perubahan ini. Jika tetap bertahan pada sistem lama, Indonesia berisiko tertinggal. Namun, dengan memilih jalur baru, Indonesia bisa memperkuat ketahanan ekonomi domestik sekaligus menjadi pemain penting dalam percaturan geopolitik dunia.

Akhirnya, tumbangnya Sri Mulyani bukan hanya soal pergantian jabatan, melainkan simbol berakhirnya dominasi satu paradigma. Era baru kebijakan ekonomi Indonesia kini menuntut pemikiran yang lebih berani, fleksibel, dan berorientasi pada rakyat. Dunia sedang bergerak, dan Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton (Pojok Jakarta, 2025).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun