Di tengah kemajuan teknologi informasi yang pesat, masyarakat dunia termasuk Indonesia dihadapkan pada perubahan pola interaksi sosial. Kemudahan komunikasi seharusnya mempererat hubungan antarindividu. Namun, ironisnya, justru muncul fenomena yang mengarah pada meningkatnya individualisme di tengah masyarakat digital.
Menurut laporan Digital 2024 Indonesia dari We Are Social dan Meltwater, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 185 juta jiwa. Angka ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia kini hidup berdampingan dengan dunia digital. Sayangnya, kedekatan secara digital ini tidak selalu berbanding lurus dengan kedekatan emosional di dunia nyata.
Fenomena seperti “makan bersama tapi sibuk dengan gawai”, interaksi yang lebih banyak terjadi di media sosial daripada secara langsung, hingga menurunnya minat untuk terlibat dalam kegiatan sosial masyarakat menjadi bukti bahwa digitalisasi turut membentuk pola hidup yang lebih individualistik.
Sosiolog Universitas Indonesia, Prof. Dr. Bambang Shergi Laksmono, menyatakan bahwa meningkatnya individualisme adalah konsekuensi dari perubahan sosial akibat globalisasi dan perkembangan teknologi. “Masyarakat semakin terdorong untuk fokus pada dirinya sendiri karena segala sesuatu dapat diakses secara personal. Ini membuat keterikatan sosial menjadi lemah,” ujar Prof. Bambang dalam wawancara dengan Kompas (2023).
Dampak individualisme ini tidak bisa dianggap remeh. Rasa solidaritas menurun, empati melemah, dan masyarakat cenderung lebih pasif terhadap persoalan sosial di sekitarnya. Bahkan, riset dari Pew Research Center (2022) menunjukkan bahwa generasi muda di berbagai negara, termasuk Indonesia, mulai merasa kesepian meskipun mereka aktif di media sosial.
Namun, bukan berarti harapan telah hilang. Justru teknologi juga dapat menjadi alat untuk menguatkan kembali nilai-nilai sosial. Komunitas digital seperti forum diskusi, gerakan sosial berbasis daring, hingga kampanye solidaritas di media sosial bisa menjadi alternatif baru dalam membangun kohesi sosial.
Penting bagi kita untuk tetap menjaga keseimbangan antara kehidupan digital dan interaksi sosial nyata. Menyapa tetangga, terlibat dalam kegiatan lingkungan, atau sekadar mengobrol tanpa gawai bisa menjadi langkah kecil namun berarti dalam membangun kembali keakraban sosial.
Sebagaimana dikatakan oleh sosiolog Prancis Émile Durkheim, “Masyarakat bukan hanya sekumpulan individu, melainkan jaringan solidaritas yang saling terhubung.” Maka, di era digital ini, menjadi tugas kita bersama untuk memastikan bahwa jaringan tersebut tetap hidup—tidak hanya secara virtual, tapi juga nyata.
Daftar Pustaka
We Are Social & Meltwater. (2024). Digital 2024: Indonesia. https://datareportal.com
Pew Research Center. (2022). Social Media Use and Perceived Loneliness Among Young Adults.