Kritik-kritik keras dari pihak oposisi, ahir-ahir ini marak dilakukan. Kritik itu disampaikan menjelang momentum, pendafataran Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Banyak hastag sosial media yang ditebar untuk menurunkan pamor kerja pemerintah saat ini. Bahkan juga muncul gerakan jalanan, yang potensi besarnya digalakkan dalam agenda membangun ketidakpercayaan pada pemerintah saat ini. Apa salah pemerintah, hingga oposisi hendak membangun opini kontra? Tentu maksud dan tujuan itu yang hendak kita telaah, agar publik mendapat wacana yang berimbang, syukur lebih baik dan benar.
Paling tidak kita mencatat, ada dua alur kritik yang disampaikan. Pertama, kritik soal Sertifikasi Tanah yang gencar dilakukan oleh Jokowi. Kritik yang terlontar, yang kita tangkap, seolah-olah ada "kebohongan" dalam soal program sertifikasi tanah. Publik dapat melihat sendiri, pernyataan-pernyataan itu dalan menilai sendiri, apa kiritik yang disampaikan itu. Padahal, Landasan pemerintah sangat kuat, bahwa sertifikasi untuk memastikan akan hak masyarakat atas tanah. Banyak persoalan yang muncul soal tanah, disebabkan oleh rendahnya kepastian hukum atas kepemilikan tanah.Â
Persoalan ini muncul ke permukaan dalam tiap periode pemerintahan. Pemerintah berani mengambil sikap atas persoalan ini, tentu tidak mudah. Kita ingat kasus Mesuji dan kasus-kasus lain, perihal tanah dan konflik tanah atas warga dan perusahaan. Jalan penyelesaian yang paling efektif jelas, memberikan kepastian hak atas tanah kepada warga yang sah memiliki. Praktis tidak banyak kasus yang muncul ke permukaan pada era pemerintahan Jokowi.Â
Kedua, soal infrastruktur yang mendapat kritik. Tidak ada data dan fakta, yang tidak mendukung keberhasilan pemerintah dalam program infrastruktur ini. Bahkan tidak ada era pemerintahan sebelumnya, sepanjang sejarah Indonesia yang capaian infrastrukturnya seperti yang dilakukan era Jokowi. Landasan pijakannya adalah Indonesia sangat jauh tertinggal dengan negara-negara lain dalam soal infrastruktur, sehingga sangat diperlukan pembangunan infrastruktur di Indonesia.Â
Catatan yang paling penting, yang harus diingat, kejadian waktu jembatan Comal di Pemalang Ambruk, hampir 3 bulan pasokan barang dari Surabaya-Jakarta dan kota-kota yang dilaluinya terganggu. Masih banyak kasus lain yang tidak bisa kita sebut satu persatu, yang semua mendukung dalil pemerintah, untuk serius mengerjakan infrastruktur. Data dan faktanya sangat jelas, bahkan capaian yang dihasilkan oleh pemerintah Jokowi sangat baik. Tidak ada pemerintah sebelumnya yang mampu mengerjakan program infrastruktur ini, sebagaimana yang Jokowi lalukan.
Lalu, apa maksud kritik dari pihak Oposisi, khususnya kandidat Capres yang elektabilitasnya dua tertinggi di Republik ini melontarkan kritik? Tentu, hal itu dilakukan tidak tanpa maksud. Saya berusaha menganalisis dengan pendekatan analisis wacana, untuk mendeskripsikan pokok masalah kritik, agar publik dapat mencerna informasi yang jauh lebih berimbang, dibanding hanya wacana dan isu semata.
Kontruksi Kritik
Bagaimana oposisi membangun kritik (critic construction)? Ini pertanyaan menarik. Opisisi melontarkan kritik kebijakan pemerintah, banyak lewat podium-podium internal. Publik juga demikian mudah mengakses kritikan-kritikan itu, lewat sosial media dan media masa.Analisis pertama tentu tertuju pada model kritik yang dibangun.Â
Kritik dibangun untuk memberikan oponi kontra pada pihak lawan. Opini kontra ini diharapkan memberikan dampak pada keseimbangan wacana, antara sosialisasi dan kampanye yang dilakukan pemerintah dalam soal pembangunan, dengan realitas yang terjadi di lapangan.Â
Idealnya, kritik dibangun atas dasar data dan fakta, bukan asumsi semata. Apalagi hoax atas kebenaran informasi. Tentu tidak layak, kritik dibangun atas dasar asumsi dan hoax.Kedua, metode yang digunakan untuk mengkritik. Biasanya ruang-ruang akademis dan ilmiah adalah forum yang cukup kredibel, untuk memberikan kritik. Pertama, ruang akademis lebih banyak menggunakan metode ilmiah, sehingga kepastian wacana kritik menjadi semakin terukur.Â
Di samping itu, bahan kritik mendapat legitimasi ilmiah. Namun, cara pandang ilmiah lebih menekankan pada data, sehingga kritik yang tidak berdata mustahil dapat diterima di ruang ilmiah, karena mimbar ilmiah adalah mimbar bebas, yang diakui berdasarkan pada prinsip kebenaran, keadilan dan kejujuran.