Mohon tunggu...
Ahmad Makki
Ahmad Makki Mohon Tunggu... -

Rakyat Indonesia, pengagum Gus Dur. Berminat dengan sastra, sejarah, sepakbola, film dan jengkol.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Misalnya Mereka Sempat Menemuimu, Tuan

18 Januari 2011   05:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:27 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lepas lebaran, tahunnya entah. Saya, remaja SMA ketika itu, tengah di perjalanan pulang dan tak menyangka hari itu akan penting.
Ban motor saya tahu-tahu bocor. Saya hampiri satu kios tambal ban puluhan meter di depan, sambil menuntun motor. Jika (maaf) stereotipe para penambal ban berasal Batak, saya yakin yang ini bukan. Logatnya tak bisa saya taksir. Bukan Jawa atau Sunda, tidak Betawi.

Di tengah upaya memreteli ban, dia mengajak saya bercakap, basa-basi. Saya menyambut meraba-raba topik, lalu berkomentar soal lebaran yang kian sepi, juga menyinggung istilah krismon (krisis moneter), KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) dan reformasi, istilah paling populer di masyarakat saat itu. Saya tidak begitu paham, tapi tetap menyimpulkan, boleh jadi sepi Lebaran gara-gara tiga hal itu.

Hal umum jika Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sukar sepakat soal tanggal bulan Puasa dan hari Lebaran. Umumnya Muhammadiyah sehari lebih dulu ketimbang NU. Di kampung saya ini jadi bahan candaan para pemuda. Orang saling ejek; Puasa ikut NU, Lebaran ikut Muhammadiyah. Orang Betawi memang suka bercanda dan mengejek untuk bergurau. Mereka jarang menakar ejekan dengan moralitas dan sikap sentimentil. Santai saja, yang penting berbalas tawa.

Pada tahun itu kali pertama saya tahu NU dan Muhammadiyah seragam soal hari Lebaran. Entah kenapa hal ini pun saya komentari di depan si penambal ban. Lebaran memang bukan cuma sembahyang Id dan saling maaf. Lebaran juga kue-kue ringan, jamuan ketupat dan sayur, tebaran angpau, tentu juga pakaian baru. Ini butuh banyak biaya, membuat jeri banyak orang.

"Jangan-jangan saat hidup susah begini orang malas mikir penentuan hari lebaran? Jadi disamain aja." Kata saya sembari tertawa.

Si penambal ban tertawa. Jika kita melempar canda dan orang tertawa, kita merasa ada gagasan yang koheren. Makanya saya susul tertawa juga. Tapi tahu-tahu.

"Engga juga." Selanya.
"Maksudnya kebanyakan orang." Saya coba meralat.
"Ya engga juga, Mas."
"…"
Dia menjelaskan soal metode. Ya, NU dan Muhammadiyah punya metode berbeda buat menaksir tanggal Hijriyah. Mereka juga punya ukuran dan tanggung jawab untuk menghitung dengan sungguh. Perbedaan tanggal puasa dan lebaran memang tak sepele, tapi tak usah dijadikan pertentangan, apalagi saling menyalahkan.

"Yang salah yang engga puasa." Ujarnya sembari tertawa, seperti membaca pikiran saya. Ya, saya memang merasa obrolan itu mengarah serius. Candaan yang jadi serius memang bikin sulit beradaptasi.
Tapi si penambal ban tetap ngomong soal perbedaan dalam Islam. Ia contohkan ragam mazhab, macam tata sembahyang, juga beda corak tauhid. Ia menerangkan sambil menyugesti bahwa itu bukanlah kekeliruan yang mesti disesali. Masing-masing kita hanya perlu menjalankan yang kita yakini. Ia ajukan argumen-argumen simpel yang tak bisa saya debat. Saya memang tak punya argumentasi. Hmm, saya dulu dididik soal agama di rumah, sekolah dasar di madrasah, dan dua tahun nyantri. Tapi belum tahu jika perbedaan, apalagi soal agama, bisa dilihat begini, seperti ia melihatnya.

Saya hanya berdebar mendengar hal baru ini. Seperti berada di ambang takut dan penasaran. Sesekali saya mengangguk, tapi tak tahu harus setuju atau tidak. Ini berlangsung hingga persoalan ban selesai. Saya membayar dan pamit, tak bertanya namanya. Sampai di rumah pengalaman itu saya lupakan.

Beberapa tahun lewat saya kuliah di UIN Jakarta, bertemu teman-teman baru yang mendiskusikan perbedaan dengan jernih. Memosisikannya selaku fakta, bukan sumber sengketa. Saya jadi ingat penambal ban itu. Mungkin ia pernah seperti teman-teman saya, para pegandrung diskusi dan pelalap buku-buku. Bergaul dengan mereka saya jadi tahu pentingnya sikap keraguan yang intens dan pikiran terbuka demi mendiskusikan ide-ide yang "membahayakan" prinsip, mengevaluasi apa-apa yang teryakini sebelumnya. Hasilnya? Entah. Tapi setidaknya saya punya simpulan, bahwa pertengkaran demi meributkan perbedaan, apalagi sampai mengepal tinju dan melempar batu, adalah kebisingan yang mengganggu tidur siang.

Kata orang, keraguan yang intens awalnya akan mengguncang. Itu benar. Semua orang mengalami. Kita memang bisa menyamar dengan kerudung hiruk-pikuk, kawan, tapi ketika ditodong keraguan kita akan menghadapi sendiri, tanpa proteksi. Saya pun mengalaminya, membuat saya bertingkah laiknya mahasiswa filsafat semester awal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun