Mohon tunggu...
Ahmad Khoiron
Ahmad Khoiron Mohon Tunggu... Guru -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Generasi "Tandur-Matun"

7 Agustus 2017   07:59 Diperbarui: 7 Agustus 2017   19:20 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Ahmad Khoiron

"Suatu saat nanti tanah-tanah sawah di desa ini kemungkinannya akan dijual, sebab sekarang tak ada lagi generasi Tandur-matun!" Ucap pak De Som dengan guyon.

"Kok saget pak De?" Timpal ku

"Lihat sekarang, adakah sekarang anak-anak kecil yang bermain disawah?" Pak De Som mengajakku memahami akar masalah.

"Lha nggeh Niku.... Bener juga alasan sampean pak De..." Balasku

*

Dulu saat saya masih kecil, saya dan teman-teman sepermainan yang paling ditunggu adalah masa panen padi, sebab disaat itulah kami bisa manfaatkan lahan sawah yang telah di panen padinya, bisa digunakan sebagai lapangan bola, area "perang-perangan" dengan menggunakan "Ledok", -tanah sawah. Area menumpahkan keriangan, canda, tangis anak-anak kecil.

Suasana itu seakan lenyap, tak ada lagi keriangan, canda dan tangis itu. Lenyap oleh hiruk pikuk kurikulum. Kurikulum yang memperkosa waktu bermain anak, ditambah dengan sekolah-sekolah yang berlomba melaksanakan "Full day school", sebuah istilah sekolah mulai pagi sampai sore hari. Yang secara otomatis juga memperkosa hak anak mendapatkan materi-materi agama Islam, yang di desa saya biasa disebut Madin (madrasah Diniyah). Padahal, moralitas yang dibangun di Madin juga bagian dari Tujuan nasional, "Mencerdaskan kehidupan Bangsa". Bahkan sekolah-sekolah pun, ikut juga berlomba menggunakan bahasa asing disetiap jenjang, mulai PAUD Sampai SMU, dan mulai meninggalkan bahasa lokal. Jangan heran bila suatu saat nanti, bahasa daerah menjadi bahasa asing di negerinya.

Miris juga bila menyaksikan jika dikemudian hari tak ada lagi yang bisa "tandur-matun", tak ada lagi yang bisa mengelola "lahan". Wajar sekali, orang tua menginginkan anak-anaknya memiliki pekerjaan yang lebih baik lagi dibanding orang tua mereka. Takutnya, jika sudah tak ada lagi "generasi tandur-matun" lahan-lahan itupun dijual, dan dimiliki oleh kaum "pencari keuntungan". Perumahan ada dimana-mana, jalan ditutup, tidak boleh dilalui oleh warga kampung. Saat itu terjadi, maka kita telah terjajah oleh orang-orang dari negeri sendiri. Terjajah sistem pendidikannya, terjajah gaya hidupnya. Nauzubillah terjajah "imannya".

Merdeka!!!

Malang, 7 Agustus 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun