Mohon tunggu...
Ahmad Fahmi
Ahmad Fahmi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Perpeloncoan dalam Sistem Pendidikan

24 Agustus 2015   23:10 Diperbarui: 24 Agustus 2015   23:10 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perpeloncoan atau biasa disebut di zaman sekarang Bullying adalah sistem pendidikan yang menyimpang melibatkan pelecehan, penyiksaan, dan penghinaan yang bisa terjadi dalam penyambutan seseorang dalam suatu kelompok. Peristiwa ini sering terjadi dalam Masa Orientasi Siswa (MOS) di sekolah. Entah mengapa peristiwa ini masih sering terjadi seperti budaya yang tidak bisa dihapus.

Padahal sudah bukan zamannya lagi melakukan orientasi siswa dengan kekerasan, banyak sekali yang beredar kabar di media tentang penyiksaan terhadap siswa baru sampai mengakibatkan melayangnya nyawa seseorang. Dari berita tersebut, seperti tamparan keras terhadap dunia pendidikan Indonesia yang harusnya budaya perpeloncoan ini dihapus dan diganti dengan orientasi siswa yang lebih mendidik.

Menteri pemberdayaan Perempuan dan Perlindugan Anak, Yohana Susana Yembise dengan tegas mengecam segala bentuk kekerasan terhadap anak atau pelajar baru, “Itu tidak boleh terajdi karena saya juga pendidik” ujarnya. FGII memperingatkan sekolah dan siswa senior agar tiak melakukan perpeloncoan terhdapap siswa baru. Pengaduan atau laporan dari siswa baru atau orang tuanya bisa menimbulkan perkara gugatan pidana sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak nomor 35 tahun 2014

Mendikbud Anies Baswedan telah mengeluarkan surat edaran untuk mencegah praktik perpeloncoan pada masa orientasi peserta didik baru disekolah, pada edaran 59389/MPK/PD/TAHUN 2015 yang ditujukan kepada gubernur, bupati dan walikota seluruh Indonesia yang pertama berisi kepala dinas pendidikan daerah untuk memastikan tidak adanya perpeloncoan pada masa orientasi peserta didik baru. Poin kedua Mendikbud menghimbau kepada masyarakat khususnya wali untuk memantau dan mengawasi pelaksanaan orientasi peserta didik baru.

Dari berbagai bahasan diatas, kami sebagai calon mahasiswa sangat tidak setuju dengan adanya perpeloncoan pada masa orientasi di Indonesia, dari kutipan diatas perpeloncoan lebih mengacu ke sebuah orientasi dengan kekerasan, perusakan mental dan hal hal buruk lainnya. Berbeda dengan orientasi yang bertujuan lebih mendidik dan membangun karakter yang kuat.

Perpeloncoan lebih menimbulkan hal negatif seperti kerusakan mental, sakit hati, bahkan kecelakaan fisik hingga kematian seperti kasus SMA 3 Jakarta yang memakan korban jiwa Arfian CaesarAl-Irhami (16) yang mendapatkan pukulan dan tamparan hingga merenggut nyawanya. Kasus Arfian hanya salah satu kasus dari beribu-ribu kasus yang terjadi di Indonesia yang sangat merusak citra dunia pendidikan. Dengan demikian kami selaku calon mahasiswa mengharapkan adanya tindakan tegas dari pemerintah untuk menghilangkan budaya tersebut dari sistem pendidikan di Indonesia.

"sebuah kegiatan yang tidak bermanfaat" mungkin sedikit mendeskripsikan kegiatan perpeloncoan ini. Sebetulnya niat baik akan ada dan selalu ada di setiap masa pengenalan(MPA) akademik atau masa orientasi sekolah(MOS), namun kadang, kegiatan sampingan yang tidak bermanfaat ini masih saja dilakukan.

Pengaruh dari kegiatan MOS/MPA yang melenceng ini mungkin tidak akan terlalu besar, pasalnya orangtua pun kadang "memaklumi" adanya kegiatan ini meskipun tidak pantas, dan siswa pun ikut "memaklumi". Namun apabila dilihat tahun depan dimana siswa yang dipeloncokan menjadi kakak kelas, balas dendam mungkin saja menjadi faktor utama diadakannya kembali kegiatan melenceng ini. Sehingga kelama-lamaan akan menjadi sebuah budaya, budaya yang tidak pantas.

Terkadang sebagai senior, memang merasa berkuasa atas junior atau adik kelasnya. Mereka bebas melakukan apapun sebagai bentuk "orientasi" selama disetujui guru pembimbing. Kenyataan yang terjadi di lapangan, kegiatan "orientasi" ini malah justru dibuat menjadi sebuah lelucon yang tidak pantas. Menggunakan topi dari bola plastik? Ikat pinggang dari tali rafia? Mengalungkan permen? Siswa (dan mahasiswa) pun menjadi badut selama seharian atau bahkan lebih. Apa akan membantu proses pembelajaran? Menanamkan kedewasaan? Melatih kemandirian? Mengenal sekolah dengan baik? Tentu saja jawabannya jelas, yaitu TIDAK.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 55 tahun 2014 tentang Masa Orientasi Peserta Didik Baru di Sekolah, adalah salah satu upaya pemerintah untuk menekan "budaya" yang tidak pantas ini. Bahkan pemerintah pun harus turun tangan untuk menghadapi masalah yang seharusnya menjadi masalah internal sekolah. Seolah-olah sekolah yang harusnya mendisiplinkan siswa, didisiplinkan kembali oleh pemerintah, diawasi, dan dijaga ketat.

Dengan adanya peraturan tersebut, seharusnya tidak ada lagi sekolah yang memeloncokan siswa barunya. Tapi kenyataannya, masih banyak sekolah yang melakukannya. Banyak berita di media sosial, internet dan TV yang melaporkan kegiatan aneh ini. Penulis pun melihat sendiri beberapa waktu yang lalu, ada beberapa siswa baru yang berseragam SMP yang menggunakan bet dari susu sachet, topi dari kardus, dan aksesoris aneh lainnya. Entah peraturan menteri tersebut sengaja diabaikan, belum dibaca, atau memang tidak sampai ke pihak sekolah, penulis tidak mengetahuinya. Yang jelas, kegiatan yang tidak ada gunanya ini harus segera dihentikan, atau apabila memaksa mungkin dapat diubah menjadi kegiatan yang mengasah kemampuan siswa seperti PBB, Perkemahan, atau apapun yang jauh lebih bermanfaat.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun