Kehadiran kecerdasan buatan mengubah cara kita bekerja, belajar, dan berinteraksi. Kini, informasi hadir secepat kedipan mata, jawaban tugas kuliah bisa muncul hanya dalam hitungan detik, bahkan ide kreatif pun dapat dihasilkan tanpa harus menatap layar terlalu lama. Dunia menjadi lebih cepat, namun benarkah kita menjadi lebih cerdas?
Generasi muda hari ini hidup dalam kemewahan kemudahan. Namun, di balik itu, ada bahaya yang sering diabaikan, salah satunya hilangnya ketahanan mental dalam menghadapi tantangan. Ketika semua jawaban tersedia instan, proses berpikir mendalam dan kesabaran mencari solusi perlahan terkikis. Hasilnya adalah generasi yang ahli menggunakan teknologi, tetapi kurang terbiasa menantang pikirannya sendiri.
Kemandirian berpikir bukan sekadar kemampuan menjawab soal tanpa bantuan. Ia adalah keterampilan menelusuri masalah, menyusun argumen, dan menilai kebenaran informasi secara kritis. AI, jika digunakan tanpa kendali, berpotensi membuat otak kita "malas" bekerja. Sama seperti otot yang jarang dilatih, daya pikir pun bisa melemah ketika jarang digunakan.
Namun, teknologi bukan musuh. AI bisa menjadi sahabat terbaik jika diposisikan sebagai mitra belajar, bukan pengganti proses belajar. Gunakan AI untuk memperluas sudut pandang, memverifikasi informasi, atau menemukan inspirasi. Tetapi biarkan otak kita tetap menjadi pusat kendali. Sebab, pada akhirnya, kemajuan teknologi hanya berarti jika kita tidak kehilangan jati diri sebagai manusia yang mampu berpikir secara mandiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI