Dalam seni pertunjukan, khususnya seni tari, kita mengenal tarian lebih banyak menggunakan komunikasi nonverbal, yaitu: menyampaikan makna dan pesan menggunakan bahasa tubuh, seperti: kontak mata, ekpresi, serta gerakan-gerakan.
Selain komunikasi nonverbal, komunikasi verbal pun tetap digunakan dalam tarian pada saat-saat yang dinginkan pembuat tarian (koreografer). Komunikasi verbal menggunakan bahasa tertulis atau pun suara.Â
Suara dapat diwakilkan kepada pemusik atau penari itu sendiri menggunakannya sebagai penguat cerita, agar penonton lebih mudah memahami isi tariannya.Â
Sedangkan teks/tulisan dapat digunakan sebagai sinopsis atau ringkasan cerita. Ringkasan agar penyajian cerita tarian yang panjang dapat dipersingkat dengan dibacakan sebelum pertunjukan atau berupa selebaran, buku kecil atau buklet yang diberikan kepada penonton berisikan informasi, deskripsi dan sinopsis.
Seseorang tidak begitu saja dapat membuat sebuah karya tari untuk diperlombakan atau untuk seni pertunjukannya. Jika ia ingin seni pertunjukannya sukses dinikmati penonton ia harus melalui proses-proses.Â
Proses inilah tingkat tersulit dalam seni pertunjukan. Mulai dari mencari ide garapan, meneliti cerita garapan, mencari penari, mencari pemusik, penata rias busana, penata artistik, menyatukannya dengan musik, dengan busana, properti, mencari tempat pentas, di gedung atau di lapangan, lighting, sound system, panitia, dan siapa saja yang hendak diundang.
Promosi agar banyak orang berminat menonton, dokumentasi, mengurus surat izin dan sebagainya. Untuk mempermudah pekerjaan itu, seniman akan meminta bantuan dari seniman lain atau mempekerjakan ahli-ahli dibidangnya masing-masing.
Seni pertunjukan yang ingin dilaksanakan seorang seniman harus maksimal dalam mempersiapkan dirinya, berlatih keras agar gerakan tari dalam menyampaikan makna pesan nonverbal dan verbal dapat dengan mudah dipahami penonton, kecuali ia ingin meminta/menyerahkan kepada penonton untuk memahami makna yang ia sampaikan, dan semuanya tergantung siapa penontonnya.