Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Suka Menulis Tetapi Bukan Seorang Penulis

10 Agustus 2016   02:35 Diperbarui: 10 Agustus 2016   02:44 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam tulisan kali ini saya tidak perlu menyebut nama “siapa”, yang kemudian menuai komentar dari beberapa Kompasianer yang begini-begitu dalam situasi ini-itu pada saat terkini. Soalnya, terkadang saya tidak enak hati kalau membuat pengelola (admin.) Kompasiana terpaksa repot mengirimi peringatan ke kotak pesan saya.

Percayalah, saya bukanlah anggota atau simpatisan siapa atau kelompok siapa, apalagi diam-diam menjadi anggota suatu partai yang melawan siapa dan partai apa. Melalui tulisan ini saya sengaja sedang mengalihkan isu terkini supaya kopi, teh, air putih, atau minuman ringan bisa dinikmati sesuai dengan selera lidah masing-masing penikmatnya. Bagaimana?

Saya memang suka menulis tetapi profesi saya bukanlah penulis, bahkan saya tidak pernah bercita-cita menjadi seorang penulis. Mungkin sama seperti orang yang suka bermain sepakbola tetapi ia bukan seorang pesepakbola; orang yang suka memerintah tetapi ia bukan seorang pemerintah atau berprofesi sebagai pemerintah; orang yang suka menyuruh tetapi tidak berprofesi sebagai pesuruh; orang yang suka mencuci uang atau suka “cuci tangan” tetapi bukan “tukang cuci”; orang yang menyukai hal-hal politik tetapi ia bukan seorang politikus; dan lain-lain.

Sah-sah saja apabila saya dianggap (entah oleh siapa) sebagai penulis palsu karena profesi asli saya adalah arsitek. Arsitek? Ya, arsitek. Sama seperti siapa-siapa yang berprofesi sebagai arsitek tetapi merangkap sebagai siapa selain arsitek, meskipun saya bukanlah seorang arsitek terkenal.

Kegiatan tulis-menulis, bagi saya, merupakan bagian dari gaya hidup saya.  Saya tidak bisa bergaya seperti peragawan atau foto model, maka saya menulis. Saya tidak bisa mengumbar gaya seperti para model dadakan dengan segala foto selfie karena saya selalu mengalami mati gaya secara mendadak.

Menulis, ya, menulis.  Melakukan kegiatan tulis-menulis, sangat mungkin, tidak bisa saya jadikan sebagai atraksi gaya-gayaan bertabur gengsi, apalagi dalam kehidupan sehari-hari saya yang berada di lingkungan orang yang tidak suka menulis (artikel atau apalah yang bisa disebut sebagai “tulisan”).

Saya tidak tahu, apakah semua kontributor (kecuali saya) di Kompasiana ini memang benar-benar penulis (berprofesi sebagai penulis). Meski begitu, saya tidak perlu menduga bahwa sebagian kontributor (penyetor tulisan) juga sama seperti saya karena, saya pun menduga, tiada seorang pun yang sudi disamakan dengan saya.

Saya tidak perlu menyamakan saya dengan siapa atau siapa dengan saya. Saya suka menulis tidaklah untuk menjadi siapa-siapa. Ketika saya mengirim puisi ke beberapa hajatan, puisi saya lolos seleksi, lantas saya diundang untuk menghadiri perhelatan para penyair, misalnya Temu Penyair Nusantara di Meulaboh, Aceh Barat, Tifa Nusantara #2 di Banten, dan lain-lain, tidaklah lantas saya adalah penyair (pemuisi atau sajakis). Ketika saya mengirim cerpen ke beberapa hajatan cerpen, cerpen saya lolos seleksi, dan diundang untuk menghadiri perhelatan sastra, misalnya Temu Sastrawan III, Konggres Cerpen Nasional, dan seterusnya, tidaklah lantas saya adalah seorang cerpenis (ceritapendekis). Juga esai, opini, atau apa saja, yang kemudian mewujud sebuah undangan, tetaplah saya bukan seperti sebutan (siapa) yang sesuai dengan acara dalam undangan.

Demikian pula ketika saya menulis tentang siapa, yang kemudian saya ‘dihakimi’ sebagai pro-kontra siapa dengan sebutan tertentu, tidaklah akhirnya saya menjadi seperti siapa sebagaimana yang ‘dihakimi’ oleh siapa-siapa. Entahlah, bagaimana bisa sebuah tulisan langsung menyorot kepada si pembuat tulisan dengan menyebut sebuah profesi (penulis).

Saya tidak perlu susah-payah menemukan kejelasan-kepastian tetapi cukup dengan “entahlah” tadi. Saya suka menulis, dan, ah, terserahlah jika selanjutnya saya dijuluki “Penulis”, meskipun bukan profesi saya. Padahal, kasihan juga para penulis asli jika terkontaminasi oleh kehadiran saya gara-gara saya dijuluki “penulis”. Tapi semoga kesukaan saya ini tidak mengganggu ‘periuk nasi’ para penulis asli.

*******

Beranda Rumah, 10 Agustus 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun