Setiap Hari Pahlawan 10 November, oh, alangkah ramai kata-istilah "pahlawan" digaungkan di seantero Nusantara. Mendadak riuh imbauan-imbauan untuk kembali menghormati jasa para pahlawan Indonesia.
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya," seru Presiden I RI Ir. Soekarno dalam pidato peringatan Hari Pahlawan 10 November 1961.Â
Kata-kata mutiara Bung Karno itu pun senantiasa dikumandangkan oleh sekian orang Indonesia dalam rangka Hari Pahlawan, minimal melalui media sosial yang mudah sekali digapai oleh gawai mutakhir. Generasi milenial pun mudah menghafalnya.
Memang mudah sekali berbicara bahkan berkumandang lantang tentang pahlawan dan kepahlawanan. Akan tetapi, realitas masih menyuguhkan ironi yang miris.
Bahasa Indonesia
"Eh, kita ngomong ala-ala anak Jaksel yuk!"
"Oh... kayak literally, which is gitu ya?"
Begitu fenomena istilah "Anak Jaksel"--kebiasaan anak-anak muda di Jakarta Selatan dalam berkomunikasi dengan mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Fenomena yang berlangsung sejak 1 September 2018 itu sempat dikritik Ivan Lanin.
"Anak Jaksel" dalam "gado-gado" bahasa tidaklah sendirian. Ada lagi yang lebih parah, dan konyol. Misalnya, sebagian acara yang justru berkaitan dengan sastra Indonesia. "Launching buku", dimana bukunya berbahasa Indonesia dari Judul sampai isi. Acara itu diselenggarakan di Indonesia, dan dihadiri oleh orang Indonesia.
Kekonyolan ditambah dengan judul-judul buku berbahasa Inggris, padahal isinya  berbahasa Indonesia karena memang untuk pembaca Indonesia. Kekonyolan semacam ini justru sering kali dilakukan sebelum munculnya fenomena "Anak Jaksel".
Misalnya lagi, kegiatan bersama untuk suatu hajatan. Lomba CGH (Clean, Green, Health). Konyolnya jelas sekali. Bahasa Inggris dipakai untuk kegiatan yang panitia hingga peserta adalah orang Indonesia sendiri, dan dilaksanakan di Indonesia.
Sepakat atau tidak, "gado-gado" bahasa itu justru sedang memamerkan sikap kurang menghargai bahasa persatuan sekaligus perjuangan leluhur bangsa Indonesia yang berkumpul dalam Kongres Pemuda pada 27-28 Oktober 1928 yang telah menyebut "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia" sebagai tonggak pergerakan kemerdekaan Indonesia.