Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Secarik Catatan Cacat dari Obrolan tentang Novel "Aleena"

13 Oktober 2018   02:43 Diperbarui: 16 Oktober 2018   20:42 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat, 12/10, pkl. 19.00 WITA di halaman depan kantor Institute of Resources Governance and Social Change (IRGSC), Kupang. Saya menyempatkan diri ke sana karena ada kesempatan untuk keluar dari kejenuhan menggambar rancangan bangunan.

Di situ acara Babasa ke-13. Kali ini membahas novel "Aleena, Sebuah Perjalanan Hidup" (Pustaka Media Guru, 2018) yang menghadirkan penulisnya--Asni Yurika. Pembahasnya adalah Pdt. Emmy Sahertian. Moderatornya adalah Manuel Alberto Maia.

Pdt. Emmy Sahetian, Manuel Alberto
Pdt. Emmy Sahetian, Manuel Alberto
Jujur saja, saya belum membaca novel yang judulnya berasal dari nama pemberian Asni kepada seorang keponakannya itu. Tetapi saya tertarik untuk mendengar latar penulisannya (proses kreatif) yang langsung disampaikan oleh penulis--perempuan kelahiran Lhokseumawe, Aceh, 1979. Juga, tanggapan langsung pembacanya, Pdt. Emmy.

Saya pun langsung mengambil posisi di barisan kursi depan. Menyimak dengan saksama. Empat lampu sorot yang digantungkan di pohon-pohon dari empat sudut dengan intensitas cahaya yang relatif pas itu bisa membantu saya untuk lebih terfokus pada obrolan.

Dalam novel perdananya Asni menceritakan tentang perjuangan hidup, pengorbanan, dan seterusnya. Sebuah cerita dari pengalaman hidupnya selama 3 tahun di Pakistan ketika menjadi relawan kemanusiaan.

Sebagian bahannya berasal dari kisah-kisah nyata para perempuan di sekitar tinggal sementaranya. Asni menyebut tempat tinggalnya "Penjara Bintang Lima". Apa pun tersedia. Tetapi, tetaplah "penjara".

Ya, penjara bagi para perempuan. Asni melihat secara gamblang bahwa para perempuan tidak memiliki keleluasaan untuk keluar rumah atau tempat tinggal. Bukan hanya di kota, melainkan hingga pelosok. Ya, tidak ada seorang perempuan pun yang ditemuinya bebas bepergian.

Ia pernah menemukan perempuan di jalan. Itu pun seorang nenek dan seorang cucunya yang sedang mengemis. Selain itu, tidak ada perempuan yang dijumpainya di jalan-jalan.

Pada malam yang cerah berlampu sorot Asni tidak berbicara mengenai agama, baik ketika menyampaikan proses kreatifnya maupun dalam novelnya. Sama sekali tidak ada dalam setiap bab novelnya.

Tetapi realitas kehidupan yang dialami dan diamatinya di sebuah negara yang sangat kental dengan adat-budaya patriarkhi, dan ledakan bom yang biasa terjadi. Militerisme dan kaum radikalisme pun dipenuhi laki-laki.

Sementara para perempuan, apalagi muda, dilarang berada di luar rumah. Kalau seorang perempuan tepergok berada di luar rumah, bisa runyam urusannya, bahkan termasuk aib. Juga berdampak serius perihal perjodohan pada perempuan muda dan lajang (jomlo).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun