Di tengah hiruk pikuk zaman, lagu-lagu sering melintas begitu saja di ruang publik, di media sosial, di panggung kecil sebuah acara, bahkan di ruang kelas sederhana. Namun, tak jarang nama sang pencipta terhapus, seolah lagu itu lahir tanpa ibu, berdiri tanpa akar. Fenomena ini bukan sekadar kelalaian, melainkan cermin dari rapuhnya penghargaan kita terhadap karya seni. Padahal, sebuah lagu bukan hanya rangkaian nada dan kata, melainkan buah hati dari imajinasi, perasaan, dan jerih payah penciptanya. Mengabaikan nama pencipta sama dengan menutup mata terhadap hakikat seni dan mengabaikan hukum yang mengikatnya. Karena itu, esai ini menegaskan bahwa menggunakan karya musik tanpa menyebut penciptanya adalah pelanggaran etis sekaligus hukum, sehingga diperlukan langkah nyata agar budaya menghargai karya benar-benar tumbuh. Dengan demikian, setiap lagu kembali memiliki nama, dan setiap pencipta mendapat hormat yang layak.
Pendasaran Etis
Setiap lagu lahir dari ruang batin yang dalam. Ia bukan sekadar nada yang dirangkai indah, melainkan gema dari pengalaman, luka, harapan, dan cinta sang pencipta. Menyebut nama pencipta berarti mengakui perjalanan panjang itu, sebuah penghormatan atas ide, emosi, dan kreativitas yang tak pernah sederhana. Tanpa pengakuan, lagu seolah dipaksa menjadi yatim, kehilangan jejak asal-usulnya.
Mengabaikan pencipta sama saja dengan merampas hak moralnya: hak yang melekat dan tak bisa dicabut, bahkan ketika lagu telah beredar luas. Seperti yang ditegaskan oleh Eddy Damian dalam Hukum Hak Cipta (2002), hak moral adalah "roh" dari hak cipta, yang menjamin agar pencipta selalu dikaitkan dengan karya yang ia lahirkan. Maka, setiap kali nama pencipta dihapus, sesungguhnya kita sedang mengusik martabat kemanusiaannya.
Dalam tradisi akademik dan seni, menyebut sumber bukan sekadar aturan teknis, melainkan tanda integritas. Richard A. Posner dalam The Little Book of Plagiarism (2007) menulis, "Plagiarisme adalah pencurian reputasi." Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa pengakuan bukan hanya soal formalitas, melainkan perihal kejujuran dan penghargaan.
Dengan demikian, etika menuntut kita untuk tidak hanya menikmati lagu, tetapi juga menjaga jejak penciptanya. Sebab, dengan menyebut nama, kita merawat keadilan kecil yang sekaligus bermakna besar: sebuah penghargaan tulus kepada jiwa yang melahirkan karya.
Pendasaran Hukum
Hukum hadir bukan untuk membungkam seni, melainkan untuk menjaganya tetap bermartabat. Di Indonesia, payung yang menaungi hak cipta adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Di dalamnya ditegaskan, seorang pencipta memiliki 'hak moral' yang tidak pernah bisa dipindahkan, termasuk hak untuk selalu dicantumkan namanya dalam setiap pemakaian atau publikasi karyanya. Lagu bukan sekadar bunyi merdu, ia membawa identitas penciptanya, dan hukum memastikan nama itu tidak hilang.
Eddy Damian (2002) menekankan bahwa hak moral adalah "hak kodrati" yang melekat pada pencipta. Bila nama pencipta dihapus atau tidak dicantumkan, itu berarti merampas bagian paling hakiki dari dirinya. Undang-undang bahkan mengingatkan bahwa pelanggaran hak cipta dapat berujung pada sanksi administratif, denda, hingga pidana (lihat Pasal 113). Dengan kata lain, mengabaikan nama pencipta bukan sekadar soal etika, tetapi juga persoalan hukum yang nyata.
Perlu pula digarisbawahi: 'meskipun penggunaan lagu tidak untuk tujuan komersial,' kewajiban untuk menghormati hak cipta tetap berlaku. Sebab penghargaan terhadap pencipta bukan hanya urusan uang, melainkan pengakuan atas martabat manusia. Seperti dikatakan oleh Agus Sardjono dalam Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional (2009), hak cipta bertumpu pada penghormatan terhadap kreativitas, bukan semata pada aspek ekonomi.