"Sekolah itu tidak penting, tapi untuk mengatakan bahwa sekolah itu tidak penting, kalian mesti sekolah dulu." Kutipan Ivan Illich ini terdengar seperti lelucon cerdas, namun menyimpan ironi tajam tentang bagaimana sistem sekolah membentuk cara berpikir kita, bahkan ketika kita ingin melepaskan diri darinya. Di era digital saat ini, pandangan Illich terasa makin relevan: anak muda belajar memasak, berdiskusi filsafat, hingga memahami konsep sains melalui video singkat di media sosial seperti TikTok. Proses belajar menjadi cepat, bebas, dan terasa menyenangkan, tanpa ruang kelas, tanpa ujian, tanpa guru tetap. Namun, di tengah semangat belajar mandiri yang semakin meluas ini, muncul pertanyaan penting: apakah sekolah formal masih memiliki tempat, ataukah kita sedang menyaksikan awal dari keruntuhan sistem pendidikan konvensional?
Sekilas tentang Ivan Illich dan Gagasan Radikalnya
Ivan Illich (1926--2002) adalah sosok yang tak biasa, seorang imam Katolik berdarah Austria yang banyak berkarya di Amerika Latin, namun justru dikenal luas karena kritik tajamnya terhadap lembaga-lembaga sosial, terutama sekolah. Ia tidak menentang pendidikan sebagai proses, melainkan sekolah sebagai institusi yang dianggapnya terlalu kaku, hierarkis, dan membatasi potensi manusia.
Karya utamanya, Deschooling Society (1971), menjadi tonggak penting dalam pemikiran alternatif tentang pendidikan. Dalam buku ini, Illich menyerukan "pembongkaran" sistem sekolah formal dan menggagas model pembelajaran yang lebih bebas dan mandiri melalui jaringan belajar (learning webs).
Menurut Illich, sekolah bukan hanya tempat belajar, melainkan alat yang menginstitusionalisasi pengetahuan, seakan-akan hanya sah jika diajarkan dalam ruang kelas oleh otoritas tertentu. Sekolah juga menciptakan ketergantungan, membuat individu merasa tak mampu belajar tanpa bimbingan formal. Lebih dari itu, sekolah membatasi kebebasan berpikir, menstandarkan cara belajar, dan sering kali mematikan rasa ingin tahu alami yang justru menjadi inti dari proses pendidikan itu sendiri.
Belajar Mandiri di Era TikTok dan Internet
Apa yang dulu hanya menjadi visi dalam kepala Ivan Illich kini terasa begitu dekat dalam genggaman. Internet, dengan segala kebebasannya, telah menjelma menjadi versi nyata dari learning webs, jaringan belajar yang pernah ia impikan. Illich membayangkan sebuah dunia di mana siapa saja bisa belajar dari siapa saja, kapan saja, tanpa terikat ruang kelas atau kurikulum resmi (Deschooling Society, 1971). Kini, jutaan orang belajar melalui video tutorial, artikel daring, forum diskusi, bahkan kursus gratis yang ditawarkan oleh universitas besar di seluruh dunia.
Salah satu bentuk paling mencolok dari pembelajaran bebas ini adalah TikTok. Aplikasi ini bukan lagi sekadar tempat hiburan ringan, tapi juga wadah edukasi cepat: mulai dari tips belajar efektif, penjelasan sains populer, hingga filosofi hidup yang dibungkus dalam video 15--60 detik. Yang menarik, semua itu hadir dalam format yang non-hierarkis, siapa pun bisa berbagi pengetahuan, tanpa harus bergelar profesor.
Keuntungannya jelas: aksesibel, personal, dan sering kali menyenangkan. Anak muda belajar tanpa tekanan, tanpa takut salah menjawab di depan kelas. Namun, sebagaimana semua hal yang serba instan, ada juga risikonya. Informasi yang terlalu cepat bisa dangkal, bias algoritma bisa membatasi sudut pandang, dan tidak semua konten terverifikasi. Dalam konteks ini, TikTok adalah pisau bermata dua: bisa membebaskan, tapi juga bisa menyesatkan jika tidak disikapi kritis.
Kita berada di persimpangan: antara peluang pembelajaran yang makin terbuka dan tantangan baru dalam memilah kualitas pengetahuan. Dan mungkin, Illich, jika hidup hari ini, akan tersenyum sambil mengingatkan: belajar memang bisa terjadi di mana saja, tapi kebijaksanaan tetap butuh kedalaman dan tanggung jawab.