Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Teknologi untuk Siapa? Menimbang Etika dan Akses dalam Perjuangan Iklim

17 Juli 2025   04:25 Diperbarui: 16 Juli 2025   17:11 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di tengah krisis iklim yang semakin mendesak, digitalisasi sering disambut sebagai harapan baru, menjanjikan efisiensi energi, pemantauan lingkungan real-time, hingga kecerdasan buatan untuk prediksi bencana. Namun pertanyaan mendasar muncul: siapa yang sungguh memiliki akses terhadap teknologi ini? Faktanya, tidak semua wilayah dan komunitas memiliki sarana yang setara; ketika sebagian dunia sibuk membangun sistem energi canggih, sebagian lainnya masih bergulat dengan listrik yang padam dan infrastruktur yang minim. Kesenjangan ini bukan sekadar soal perangkat atau sinyal, tetapi soal keadilan: siapa yang bisa beradaptasi, siapa yang tertinggal, dan siapa yang bahkan tak pernah diajak bicara. Maka, dalam perjuangan iklim, teknologi hanya bisa menjadi penyelamat jika ia sungguh inklusif, jika tidak, ia justru berisiko memperlebar jurang antara yang kuat dan yang lemah, antara yang mampu bertahan dan yang dibiarkan menunggu.

Filsafat Teknologi: Netral atau Tidak?

Teknologi sering kita anggap netral, sebagai alat yang bisa digunakan untuk tujuan baik maupun buruk, tergantung siapa yang memegangnya. Namun, para filsuf seperti Martin Heidegger dan Ivan Illich mengajak kita berpikir lebih dalam dan lebih jujur: benarkah teknologi hanya alat? Atau justru ia membawa cara pandang tertentu terhadap dunia dan manusia?

Heidegger, dalam esainya The Question Concerning Technology (1954), memperkenalkan konsep enframing (Gestell), yaitu cara teknologi modern membingkai dunia sebagai sekadar "cadangan sumber daya" (standing-reserve) yang siap dieksploitasi. Alam bukan lagi dilihat sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya, tetapi hanya dihargai sejauh bisa digunakan. Dalam logika ini, gunung adalah tambang, sungai adalah energi, dan manusia pun bisa direduksi menjadi data.

Senada dengan itu, Ivan Illich dalam Tools for Conviviality (1973) dan Energy and Equity (1974, mengingatkan bahwa teknologi, jika tidak dikembangkan secara adil, dapat memperkuat ketimpangan sosial dan memperbesar dominasi. Menurut Illich, ketika alat-alat produksi dikuasai oleh segelintir elite, maka teknologi bukan lagi pembebas, melainkan alat pembatas. Ia bisa menciptakan ketergantungan baru dan menggantikan relasi manusia dengan mekanisme yang dingin.

Kini, di era digital, pertanyaan itu menjadi semakin genting: apakah teknologi digital sedang menjadi alat emansipasi atau instrumen kontrol? Di satu sisi, internet memberi ruang bagi suara marginal dan menghubungkan komunitas lintas batas. Tapi di sisi lain, ia juga menjadi medan pengawasan masif, pengumpulan data besar-besaran, dan perluasan kekuasaan platform global. Kita perlu waspada agar yang kita sebut kemajuan tidak menjelma sebagai bentuk baru dari penguasaan yang tersembunyi. Karena teknologi bukan sekadar apa yang kita pakai, melainkan bagaimana ia membentuk cara kita melihat, merasa, dan hidup.

Kesenjangan Digital sebagai Ketidakadilan Iklim

Di tengah upaya global untuk menghadapi krisis iklim, satu hal yang sering luput dari perhatian adalah kenyataan bahwa 'tidak semua negara dan komunitas berdiri di garis start yang sama.' Negara-negara berkembang masih tertinggal dalam hal akses terhadap teknologi yang mendukung mitigasi dan adaptasi iklim, mulai dari sistem peringatan dini, pengelolaan data cuaca, hingga infrastruktur energi bersih. Ketimpangan ini bukan hanya soal kekurangan perangkat, tetapi tentang peluang yang hilang untuk bertahan dan bangkit.

Lebih dalam lagi, banyak komunitas rentan, seperti masyarakat adat, petani kecil, perempuan di wilayah pedalaman, tidak memiliki suara dalam perumusan kebijakan iklim yang berbasis data digital. Mereka sering dijadikan objek proyek, bukan subjek perubahan. Padahal, merekalah yang pertama merasakan dampak perubahan iklim: gagal panen, kekeringan ekstrem, banjir bandang, dan kehilangan tanah.

Ketimpangan akses terhadap teknologi ini pada akhirnya memerparah 'ketidakadilan iklim global.' Sebagaimana disoroti oleh Nicholas Stern dalam The Economics of Climate Change: The Stern Review (2007), negara miskin akan menanggung dampak yang jauh lebih besar dari krisis iklim, padahal kontribusi mereka terhadap emisi global sangat kecil. Kini, dengan munculnya teknologi digital sebagai alat utama dalam respons iklim, ketimpangan digital memperdalam luka yang sudah ada, dalam bentuk keterlambatan informasi, lemahnya sistem respons, dan ketergantungan pada negara maju untuk data dan alat.

Jika keadilan iklim sungguh menjadi tujuan, maka 'kesetaraan akses digital' bukanlah bonus tambahan, melainkan bagian utama dari perjuangan. Teknologi iklim tidak boleh menjadi hak istimewa, tetapi jembatan yang merata, menghubungkan yang kuat dan yang lemah, yang punya suara dan yang selama ini dibungkam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun