Kita semua tahu, digitalisasi kesehatan adalah masa depan yang tak terhindarkan. Dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) diwajibkan beralih ke Rekam Medis Elektronik (RME). Ini adalah langkah maju yang luar biasa.
Namun, di balik investasi besar pada software dan hardware RME, ada satu titik lemah yang sering diabaikan yaitu Sumber Daya Manusia (SDM).
Unit Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (RMIK) adalah pusat dari semua data pasien. Sayangnya, mayoritas perencanaan SDM di unit ini masih macet di era kertas. Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan (PMIK) yang seharusnya bertransformasi menjadi Arsitek Data, masih dihitung dan diperlakukan sebagai Tukang Filing.
Stop Hitung Kertas: Kegagalan Model Perencanaan Lama
Selama ini, banyak Fasyankes mengandalkan metode seperti Analisis Beban Kerja (ABK) atau WISN (Workload Indicator Staffing Need) yang didominasi oleh pengukuran volume fisik: berapa berkas yang diantar, berapa yang disimpan, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Di era RME, pengukuran ini sudah usang dan menyesatkan. RME tidak membutuhkan banyak orang untuk mengangkat berkas, RME membutuhkan orang dengan kompetensi tinggi di tiga area yang tidak diukur oleh model lama:
- Keamanan dan Kepatuhan Data: Mampu mengelola hak akses, audit digital, dan memastikan kepatuhan ketat terhadap Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Ini adalah tanggung jawab legal, bukan sekadar administrasi.
- Validasi dan Integritas Data: Mampu memastikan data yang diinput dokter dan perawat itu akurat, lengkap, dan tervalidasi secara klinis dan teknis. Ini menentukan mutu diagnosis dan klaim pembiayaan.
- Analisis Strategis: Mampu mengolah big data dari RME menjadi laporan penting (mutu klinis, epidemiologi, efisiensi operasional) secara real-time.
Jika kita terus merekrut atau melatih PMIK berdasarkan beban kerja kertas, kita hanya menyiapkan operator software yang tidak strategis. RME kita akan diisi data yang rentan, tidak akurat, dan tidak bernilai untuk pengambilan keputusan. Ini adalah kegagalan implementasi yang mahal.
Tiga Kesenjangan Fatal yang Mesti Diatasi
- Kesenjangan Kualifikasi: Banyak SDM RMIK yang belum memiliki latar belakang pendidikan formal PMIK, dan bahkan yang berlatar belakang PMIK belum mendapatkan upskilling di bidang Health Informatics modern.
- Kesenjangan Teknologi: PMIK wajib menguasai coding standar (ICD-10, ICD-9-CM, ICD-O), interoperabilitas sistem, dan konsep database. Ini belum menjadi standar wajib di lapangan.
- Kesenjangan Pengakuan: Peran PMIK sering terpinggirkan dari diskusi manajemen puncak, padahal mereka adalah penjaga aset data utama organisasi.
Peta Jalan Transformasi: Mencetak Arsitek Data Kesehatan
Untuk memenangkan pertarungan data ini, kita harus mengubah biaya SDM RMIK menjadi investasi strategis. Kita butuh Perekam Medis 4.0 melalui rencana aksi yang terstruktur.