Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Founder #purapurajogging

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Mereka Dipaksa Mengalah untuk Tak Melanjutkan Sekolah

11 April 2021   21:23 Diperbarui: 11 April 2021   21:35 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semoga sih, kesadaran menyekolahkan anak perempuan telah tinggi. Sudah puluhan tahun berlalu. Lagi pula, sekarang ada program 9 tahun wajib belajar dan banyak bantuan dana untuk anak sekolah. Keterlaluan kalau sampai masih ada peristiwa serupa itu.

Maka ketika ditanya, apakah Anda pernah bertemu dengan anak-anak yang sejak kecilnya bersikeras untuk bekerja sebagai ART setelah lulus SD? Jawaban saya, tidak pernah. Sebab kawan-kawan perempuan saya yang menjadi ART pun, tidak ada yang murni bercita-cita ingin menjadi ART. 

Menjadi ART adalah pilihan untuk mencari uang. Demi membantu orang tua yang miskin. Demi ikut membiayai sekolah adik-adiknya. Terkhusus adik laki-lakinya. Bahkan, ada pula yang malah membiayai sekolah kakak laki-lakinya.

Kalau ditanya, pernahkah Anda melihat anak perempuan yang mengalah supaya adik laki-lakinya bersekolah? Jawaban saya, pernah. Akan tetapi, kawan-kawan perempuan saya mengalah sebab dipaksa.  

Semua kisah di atas terjadi pada tahun 1984-an. Di kampung halaman saya, di sebuah ibukota kecamatan, yang terletak di kawasan pantura Jawa tengah.

Sepuluh tahun kemudian (era 1990-an) semasa kuliah di Yogyakarta, yang menjadi ART induk semang saya pun lulusan SD. Malah fresh graduate dan ia sama sekali tak pernah nunggak. Jadi, ya memang masih imut sekali. Usianya belum genap 13 tahun. Ia berasal dari pedalaman daerah Magelang.

Berhubung usianya masih tergolong anak-anak, sikap manja kekanakannya kadangkala muncul. Akan tetapi, saya akui keterampilannya membereskan rumah dan memasak lumayan mumpuni. 

O, ya. Rumah induk semang saya hanya ditinggali oleh anaknya yang masih SMA beserta kami, para mahasiswa yang indekos. Jadi, kebersihan dan keberesan urusan rumah benar-benar menjadi tanggung jawab si ART belia.

Apakah ia bercita-cita jadi ART? Ternyata tidak. Keinginan terbesarnya ya melanjutkan sekolah. Menjadi ART sebab terpaksa. Hanya itu pekerjaan yang dapat diperolehnya dengan berbekal ijazah SD. Yeah? Mau bagaimana lagi?

Menurut saya, baik kisah yang saya jumpai di kampung halaman maupun di perantauan (yakni tempat kos di Yogyakarta), punya benang merah kesamaan. Iya, benar. Keduanya sama-sama mengindikasikan ketiadaan keadilan gender dalam pendidikan.

Padahal tiap tanggal 21 April tiba, saat Hari Kartini diperingati, para orang tua kawan-kawan saya itu selalu antusias menyambutnya. Saya yakin, orang tua ART belia di tempat saya indekos pun tak jauh beda. Sungguh kontradiktif. Ironis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun