Ujung-ujungnya seusai membaca tulisan-tulisan terkait ibu, saya hanya bisa menangis di pojokan. Merasa iri bukan main sekaligus nelangsa. Lalu seperti yang sudah-sudah, akhirnya bertanya-tanya retoris, "Mengapa saya tidak merasakan apa yang dirasakan orang-orang? Mereka bisa berlari ke pelukan ibu masing-masing ketika dunia terasa sedemikian jahat, sedangkan saya bahkan tak tahu harus berlari ke pelukan siapa? Kapankah saya bisa dengan terharu dan bangga mengatakan bahwa prestasi saya tercapai karena dukungan ibu? Mengapa saya tak memiliki kesempatan untuk merasakan itu semua?" Â
Akan tetapi, kondisi pandemi covid-19 ini rupanya membuat pikiran saya lumayan jernih dan kontemplatif. Selepas membaca beberapa tulisan tentang ibu, saya menjadi dibayang-bayangi oleh pertanyaan, "Benarkah ibu merupakan sekolah pertama? Masak, sih? Tapi mana mungkin statemen itu tidak benar? Tapi kalau benar, saya kok tidak merasakannya begitu?"
Hingga pada satu titik saya terhenyak. Lalu, mulai bertanya-tanya, "Jangan-jangan selama ini saya yang terlalu egois? Terlampau menuntut kehidupan ini memberi saya sekolah pertama yang terbaik? Jangan-jangan melalui ketidakidealan itu, saya justru sedang diajari dan dididik untuk menjadi sosok yang berfaedah?" Â
Ya sudah. Saya mesti bersikap riil. Takdir saya dalam hal ibu memang berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Hendak bagaimana lagi? Pada akhirnya saya mesti sadar bahwa bagaimanapun bentuknya, ibu saya adalah sekolah pertama saya.
Jikalau kualitas sekolah saya tak secemerlang sekolah orang-orang, itu perkara lain. Tuhan, Allah SWT, tentu tak pernah salah memilih takdir untuk manusia. Kalau takdir-Nya saya dikasih sekolah yang "luar biasa", berarti ada maksud dan tujuannya.
Hanya saja apesnya, saya sampai sekarang belum sanggup ikhlas menerima keluarbiasaan itu. Plus belum mampu menemukan maksud dan tujuannya. Yeah? Kalau masalah belum ikhlas sih, jelas-jelas yang error saya. Bukan rumusan dan ajaran yang menyatakan bahwa ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Tabik.