Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, dan hobi blusukan ke tempat unik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Ibu Merupakan Sekolah Pertama?

5 Desember 2020   19:26 Diperbarui: 5 Desember 2020   19:31 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin Anda sekalian bertanya-tanya ketika membaca judul di atas. Apa alasan dan latar belakangnya sehingga saya membuat sebuah judul yang bernada skeptis begitu? Yang menyiratkan adanya keraguan akan peran seorang ibu dalam kehidupan anak-anaknya?

Bukankah dunia melihat, betapa banyak ibu yang sukses menghebatkan anak-anak mereka? Ada banyak tokoh dan selebritas, yang ternyata kunci kesuksesannya dipelajari dari ibu masing-masing. Orang-orang di sekitar saya pun demikian. Demikian mendalam rasa hormat dan cinta mereka kepada sang ibu, yang mereka sebut telah mengajarkan banyak hal baik.

Bukankah itu semua merupakan bukti nyata bahwa ibu merupakan sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya? Itu fakta yang tak terbantahkan. Agama yang saya anut juga menandaskan hal tersebut. Jadi, mengapa saya masih mempertanyakannya?  

Hmm. Tunggu dulu. Saya sungguh tak bermaksud meragukan dan mempertanyakannya. Percayalah. Saya hanya sedang dilanda rasa iri.

Iya. Saya merasa iri kepada Anda sekalian yang punya banyak kenangan indah dengan ibu. Saya sungguh penasaran, bagaimana sih rasanya berjalan-jalan atau makan bareng ibu? Bagaimana pula rasanya diberi nasihat dan diajari hal-hal baik oleh ibu? Nah, lho. Amat receh 'kan pemicu pertanyaan saya itu?   

Maka berbahagialah Anda sekalian yang kerap merindukan momentum bersama ibu. Sebab saya meyakini, ibu yang asyik begitu pastilah ibu yang anak-anaknya dapat dengan mudah berucap mantap: Ibu, sekolah pertamaku.

Percayalah juga bahwa saya selalu tersenyum simpul namun perih, tiap kali membaca tulisan-tulisan bertema ibu. Entah apa penyebab tepatnya. Pokoknya yang terasa periiih saja.

Saya pun selalu mengabaikan informasi perihal kompetisi menulis bertema ibu. Sama sekali tak tebersit keinginan untuk ikut. Saya tidak merasa nyambung bila mesti berbicara (menulis) tentang ibu. Penyebabnya sudah jelas. Saya merasa tak memiliki kenangan indah dan inspiratif bersama ibu.

Alhasil, selama ini saya hanya menjadi pembaca setia dari tulisan-tulisan terkait ibu. Bahkan lambat-laun hanya dengan mencermati judul, saya dapat menebak isinya yang tak jauh-jauh dari rangkaian puja-puji terhadap sosok ibu, yang telah berlelah-lelah tanpa pamrih dalam mengasuh dan mendidik anak.

Atau, ada pula yang sekadar mengurai kerinduan kepada sang ibu beserta hal-hal yang terkait dengannya. Ada yang rindu masakan ibu. Ada yang terkenang pada nasihat ibu. Pokoknya segala hal yang manis tentang ibu. Tak ada satu pun yang menceritakan sosok ibu yang bikin ambyar anak-anaknya.

Sementara dalam dunia nyata, kondisinya sama saja. Para ibu yang saya jumpai memang berperangai manis. Demikian pula ibu dari kawan-kawan saya. Duh!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun