"Rumah Sakit Bhakti Husada, Pak," kataku setelah menutup pintu taksi.
Taksipun melaju meninggalkan pekarangan rumah yang sepi. Rumah besar yang seharusnya nyaman dan asri. Rumah indah yang seharusnya penuh dengan gelak tawa. Â Tapi kenyataannya sangat lain. Rumah ini bagaikan rumah kosong tak berpenghuni.
Tidak seperti keluarga utuh lainnya. Yang selalu penuh dengan keceriaan disetiap kesempatan. Atau peristiwa penting lainnya. Mereka, yang aku anggap keluarga sibuk dengan pekerjaan dan keasikannya masing-masing. Terlebih lagi ibu.
Apalagi setahun belakangan ini. Setelah ayah lebih memilih meninggalkan rumah dan hidup dengan perempuan lain. Yang belakangan aku tahu jika perempuan itu adalah istri muda ayah yang ia nikahi dengan cara menikah siri. Jujur saja, aku tidak sepenuhnya menyalahkan ayah.
Pertengkaran yang aku dengar dibalik pintu kamar, jelas menggambarkan betapa ayah sangat marah.
"Aku ini suamimu! Aku berhak mengetahui semua yang terjadi denganmu. Apakah aku salah jika memintamu meluangkan waktu sedikit saja untuk aku dan anak-anak kita?" suara ayah terdengar penuh amarah.
"Aku tidak mau diatur! Pekerjaanku menuntut aku untuk profesional! Aku tidak bisa berdiam diri dan bermanja-manja dengan suasana. Anak-anak kita, mereka sudah aku percayakan sama Mbok Dinah. Toh dari mereka bayi, Mbok Dinah yang mengurus. Dia sudah paham apa saja yang mereka perlukan. Mas, aku ini wanita karir. Bukan ibu rumah tangga yang  bisanya hanya berdiam diri dan menuruti apa kata suami. Kalau Mas memang sudah tidak bisa sejalan denganku ... lebih baik kita ...
"Cerai maksudmu? Begitu!" suara ayahku terdengar meninggi.
"Aku tidak mengatakan itu."
"Dari kata-katamu jelas menggambarkan itu!"
"Kalau itu maumu, oke! Dan sekarang, silahkan, Mas meninggalkan rumah. Ini rumahku, hasil jerih payahku."