Terkesan aneh ya judul di atas. Katanya gila bola, mosok enggak suka nonton bola. Itulah kenyataannya. Tidak suka nonton bola, dalam artian saya tidak pernah menyempatkan nonton pertandingan bola secara langsung di stadion ataupun lapangan kampung sekali pun.Â
Saya lebih banyak menikmatinya lewat tayangan televisi. Bahkan saat sekolah saya yang dikenal jagonya sepak bola tingkat SMA bermain, saya tidak pernah nonton sekali pun. Saya cukup puas mendengar kabarnya saja.
Tindakan aneh yang saya lakukan tentunya bukan tanpa alasan. Faktor keamananlah yang menjadi pertimbangan utama. Dalam benak saya, meskipun penggila bola, sepak bola di tanah air ini identik dengan kerusuhan. Entah itu skala kecil atau skala besar. Lebih ngeri lagi, kerusuhan seakan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah pentas sepak bola.
Sebagai contoh kasus paling baru apalagi kalau bukan peristiwa di Kanjuruhan, Malang hari Sabtu malam lalu. Setidaknya 172 nyawa harus melayang sia-sia gegara sebuah kejadian yang tidak pernah terbayang sama sekali. Belum lagi puluhan lagi korban luka di segenap  rumah sakit, masih ditambah dengan kerugian material yang diderita semua pihak. Sungguh tidak sebanding dengan apa yang didapatkan.
Hal-hal semacam inilah yang membuat sebagian orang, termasuk saya enggan datang ke sebuah stadion. Â Dalam beberapa kejadian yang menimbulkan korban nyawa, kebanyakan mereka bukanlah para pelaku kerusuhan itu. Tapi mereka adalah orang-orang yang tidak tahu apa-apa. Tujuan mereka datang ke stadion adalah menyaksikan sebuah pertandingan bola yang menghibur. Itu saja.
Selain itu dari ribuan penonton yang hadir, saya yakin bahwa hampir 99% datang dengan niat baik. Dalam benak mereka tidak pernah terlintas sedikit pun untuk membuat keonaran, apalagi hingga menimbulkan nyawa yang melayang. Namun kenyatannya, justru yang 1% inilah yang menjadi biang kerok sebuah kejadian memilukan.
Perilaku provokatif yang mereka lakukan, dengan cepat mampu menyihir para remaja tanggung yang tengah mencari identitas diri. Dengan modal nalar yang belum penuh, larilah mereka ke lapangan berbaur dengan para provokator tersebut. Dan ketika pecah kerusuhan, justru merekalah yang menjadi korban. Sedangkan para provokator telah lenyap bagai ditelan bumi.
Dalam tragedi Kanjuruhan, korban yang jatuh justru mereka yang duduk manis di tribun. Tak terlintas sama sekali dalam benak mereka gas air mata itu akan meluncur ke arah mereka, lalu menyanyikan lagu kematian yang memilukan. Sementara para provokator pemicu kerusuhan tersebut tidak diketahui rimbanya. Apakah mereka turut menjadi korban, atau justru duduk manis di tempat yang aman.
Seandainya stadion-stadion kita seperti di negeri yang mempunyai tradisi sepak bola beradab, mungkin saya akan mengubah pendapat ini. Sebuah stadion yang begitu ramah dengan siapa pun.Â
Sebuah stadion yang berisikan para supporter menyanyikan lagu-lagu merdu saat pertandingan berlangsung. Sebuah stadion yang berisikan orang-orang yang siap menerima apa pun hasil yang dicapai klub yang mereka sukai usai wasit meniupkan peluitnya. Tapi, mungkin enggak, ya?
Lembah Tidar, 3 Oktober 2022