Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Don't Look The Book Just from The Cover

7 April 2020   14:11 Diperbarui: 7 April 2020   14:13 3354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nasihat bijak ini ternyata benar-benar luar biasa. Dalam artian bukan hanya sekedar ungkapan yang muncul begitu saja, namun makna yang terkandung luar biasa dalamnya. Saya bisa bilang begini karena mengalaminya sendiri. Dan tak urung kejadian itu membuat saya harus nyengir sendiri, malu pada diri sendiri.

Kejadian itu sebenarnya sudah agak lama.namun, jujur setiap saya teringat kejadian itu dapat dipastikan memerah muka ini. Saat itu kebetulan sedang mengantar ibu untuk periksa kesehatan di sebuah rumah sakit. 

Biasa lah, yang namanya rumah sakit umum pasti bikin jengkel. Bayangkan saja, langkah pertama harus dimulai jam 4 pagi untuk mendapatkan kuota dokter. 

Kemudian mulai jam 8 pagi antri lagi, untuk mendapatkan nomor masuk ke bilik pemeriksaan. Nah baru jam 15.30 baru antri untuk masuk ke bilik untuk diperiksa oleh dokter. Wuh, benar-benar melelahkan.

Melihat panjangnya antrian, saya memutuskan keluar dulu untuk mencari udara segar. Dan pilihan jatuh pada sebuah gerobak angkringan yang menjajakan kue-kue dan minuman hangat. Dalam hati saya, lumayan untuk membunuh kejenuhan, sambil ngobrol dengan orang-orang di tempat itu.

Obrolan berlangsung cukup hangat, apalagi saat saya sempat ngobrol dengan si penjual. Seorang ibu-ibu dengan model pakaian orang kebanyakan, memakai kain dan baju kebaya biasa. 

Hijab yang agak kusam menghiasi kepala kecilnya. Kalau dari umur kira-kira tak jauh dari saya, yah sekitar 50 an tahun. Obrolan terutama berkaitan dengan mata pencahariannya sehari-hari sebagai penjual kue di depan rumah sakit. Karena kebetulan kampungnya tak jauh dari rumah sakit, obrolan pun bertambah seru.

Saat obrolan kami sampai pada kondisi keluarga yang ditanggungnya, saya sudah mulai membayangkan betapa sulitnya hidup yang dialami. Pasti kehidupan seperti orang-orang kebanyakan yang harus pontang-panting memenuhi kebutuhan keluarga. Sang ibu harus berjualan kue, sedangkan suaminya menjadi buruh serabutan seperti dalam sinetron-sinetron kita.

Dia mulai menceritakan kedua anak bungsunya. Dikatakan satu orang masih duduk di bangku SD dan yang lebih besar di bangku SMP. Mendengar pembukaan ini, pikiran mulai meraba-raba cerita kelanjutannya. 

Dikatakan pula bahwa suaminya bekerja menjadi tukang parkir di sebuah tempat hiburan dekat rumah sakit itu. Keyakinanku pun semakin kuat, dan rasa empati mulai terbit di hati ini.

Cerita pun berlanjut, saat saya tanyakan anak sulungnya. Dengan tenang dia mengatakan bahwa si sulung tinggal di Jerman. Sudah berkeluarga dan mendapat jodoh perempuan Jerman. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun