Jadi bisa dikatakan ibu-ibu yang melakukan penimbangan di Posyandu sepertinya hanya pekerjaan rutinitas bulanan yang mereka tidak mendapatkan manfaatnya.
Bahkan pihak pemerintah desa juga tidak mengetahui hasil yang didapat dari Posyandu, karena laporan posyandu yang ke desa bisa jadi hanya jadi arsip tidak pernah dianalisis.
Dan permasalahan kedua yang muncul di Posyandu selain masalah pemantauan status gizi balita adalah fungsi penyuluhan oleh Kader yang belum jalan yang merupakan tahapan keempat dalam proses pelaksanaan Posyandu.
Sementara seperti yang dikemukakan oleh Ibu Wagub, ingin menjadikan Posyandu sebagai pusat informasi dan edukasi bagi warga dusun.
Penyebabnya adalah karena Kader tidak memahami apa yang akan disampaikan kepada sasaran. Materi apa yang akan disampaikan dalam 12 kali pertemuan setahun, lalu siapa yang akan memberikan penyuluhan dari 5 orang Kader di Posyandu tidak ada perencanaannya di Posyandu.
Ditambah lagi dengan kurangnya bimbingan dan pelatihan terhadap kader yang akan memberikan penyuluhan, membuat fungsi itu tidak berjalan.
"Saya kurang percaya diri pak!, orang yang kita beri penyuluhan kadang lebih pintar atau lebih tinggi pendidikannya dari kita", kata salah seorang kader Posyandu.
Selain itu memang kondisi yang kurang kondusif di lokasi Posyandu juga menambah ribetnya peluang untuk melakukan penyuluhan.
Pertama suasana yang ribut, dengan tangisan anak-anak yang takut disuntik imunisasi serta yang takut ditimbang.
Kedua, ibu-ibu yang terburu-buru yang ingin pulang cepat.
Dan ketiga, karena sarana prasarana yang kurang mendukung dimana lokasi atau tempat Posyandunya yang kebanyakan tidak standar yaitu numpang di rumah Kepala Dusun, atau rumah Kader, yang terkadang lokasinya di gang-gang sempit.