Mohon tunggu...
Lilik Agus Purwanto
Lilik Agus Purwanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

belajar, belajar, mari terus belajar follow twitter: @aguslilikID web: http://aguslilik.info

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kelangkaan Energi: Jalan Panjang Konversi BBG

29 Agustus 2014   20:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:10 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14093013942105664664

[caption id="attachment_356086" align="alignright" width="350" caption="Dok. Pribadi"][/caption]

Krisis BBM saat ini serasa telah menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk segera bergegas menjadikan BBG sebagai alternatif dari kebuntuan persoalan kelangkaan BBM saat ini. Pilihan pemerintah saat ini hanya ada dua. Pertama, menaikkan harga BBM bersubsidi, dan yang kedua, adalah melakukan konversi dari BBM ke BBG.

Kondisi kelangkaan BBM bersubsidi ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut jika pemerintah tidak mau terjebak pada krisis berkelanjutan akibat dari kondisi ini. Sejatinya trobosan konversi BBM ke BBG yang telah lama digulirkan oleh pemerintah menjadi jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan persoalan. Walhasil proyek konversi ini mendapatkan respon yang baik dari kalangan masyarakat.
Romantisme keberhasilan konversi minyak tanah ke LPG bersubsidi yang telah dicanangkan oleh pemerintahan SBY-JK lalu harus menjadi pelajaran berharga, bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika semua pihak memiliki kemauan (political will). Bukan tidak mungkin keberhasilan itu dapat diulang kembali dalam konversi BBM ke BBG.

Jalan Terjal Konversi Energi
Sejak mulai digulirkan program konversi kendaraan berbahan bakar gas diberbagai kota besar di Indonesia, sejatinya telah mendapat sambutan yang baik dari berbagai pihak. Namun setelah proyek konversi ini dilaksanakan, persoalan kemudian muncul. Perihal ketersediaan SPBG yang saat ini masih terbatas keberadaannya menjadi persoalan tersendiri, ditambah dengan infrastruktur (ketersediaan gas dan pipa jaringannya) masih terbatas keberadaanya.
Sampai saat ini tercatat baru tercatat 19 SPBG yang telah terbangun, dan belum 100% beroperasi secara optimal dalam pelayanan pengisian BBG. hal ini disebabkan oleh regulasi dan infrastruktur dukungan proyek yang belum memadai.
Seandainya regulasi konversi ini diatur dengan baik, dan pemerintah sungguh-sungguh dalam pelaksanaan konversi ini dilakukan pasti akan membuahkan hasil yang baik, itu terbukti bahwa sejak dicanangkan konversi BBG masyarakat menyambut baik dan sudah lebih dari 5000 konverter kit yang telah dibagikan kepada angkutan umum, taksi, dan kendaraan pemda telah terpasang, namun pada prakteknya tidak lebih dari 30% masyarakat yang mau mengisi kendaraannya dengan gas, karena kendala keberadaan SPBG yang masih langkah, dan lokasi pengisian SPBG yang belum tersebar dengan baik. Hal ini tentu menyulitkan bagi masyarakat/operator kendaraan umum untuk memanfaatkan BBG.
Selain persoalan sebagaimana disebutkan diatas, proyek konversi BBG ini dirasa masih setengah hati. Gerakan konversi BBG ini tidak didukung dengan regulasi dan tata kelola bisnis dengan baik. Pertumbuhan investasi pengelola SPBG sampai saat ini masih wait and see terhadap keseriusan pemerintah mengarap untuk mengarap sektor BBG. Harga BBG yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp3.100 / LSP (liter setara premium) saat ini dirasa masih belum memenuhi nilai keekonomisan dari kelayakan bisnis ini untuk dijalankan. Berdasarkan hasil perhitungan keekonomisan bisnis harga BBG yang memenuhi tingkat ke ekonomisan minimal pada kisaran Rp4.000/LSP. Jika program konversi BBG ini serius untuk dilaksanakan maka pemerintah harus bersedia untuk mencover selisih harga ke ekonomisan tersebut disampai pada titik harga penetapan pemerintah.

Dibutuhkan Keseriusan Pemerintah
Melihat kondisi ini harusnya pemerintah melakukan langkah langkah yang sistematis dan terstruktur untuk serius menjalankan program konversi ini. Sejatinya jalan yang ditempuh oleh pemerintah untuk melakukan konversi BBG tidak dimulai dari sisi hilir nya, namun terlebih dahulu pemerintah harus menakar kesiapan hulu dan regulasi terlebih dahulu. Jika infrastruktur dan regulasi konversi BBG ini sudah disiapkan dengan baik pasti proses konversi ini lebih mudah untuk dilaksanakan. Dengan mendahulukan pembagian converter kit dibanding kesiapan standar harga dan SPBG maka proses konversi tersebut dinilai sia-sia saja. Dibeberapa kota besar seperti Palembang, Jakarta, dan Surabaya yang saat ini dinilai sukses dalam melakukan konversi BBG bisa dibilang masih jauh dari harapan.
Jika pemerintah menginginkan proses konversi ini berjalan dengan baik, maka Pemerintah harus membuat langkah strategis, pertama, menyediakan atau mengandeng operator swasta untuk membangun infrastruktur SPBG sebanyak mungkin dengan didukung jaringan pipa gas yang terintegrasi yang menyambungkan antara sumber gas dengan SPBG-SPBG yang ada. Bersamaan dengan itu pemerintah harus mendorong terbentuknya iklim investasi yang menjanjikan bagi para investor baik lokal maupun asing untuk turut serta dalam membiayai program konversi ini. Kedua, pemerintah harus mengatur regulasi harga gas asal (sumur pipa) dan harga gas end user, perihal standarisasi harga jual untuk SPBG, dan ketiga, pemerintah harus menetapkan kebijakan yang jelas perihal produksi kendaraan tertentu yang telah mengunakan mesin dedicated gas. Dan yang terakhir jika semua kondisi itu terpenuhi baru pemerintah melakukan konversi gas secara menyeluruh disemua wilayah seperti halnya program konversi minyak tanah ke LPG.
Sejatinya peluang ini sangat mungkin untuk dilakukan, nilai subsidi pada APBN P-2014 sebesar Rp246,5 Triliun yang sebanyak 97 persen yakni Rp239,11 Triliun diperuntukkan bagi angkutan darat, jika 50% nilai subsidi tersebut dialihkan untuk pembangunan infrastruktur (SPBG) maka setiap tahunnya pemerintah akan mampu membangun sebanyak 9.100 SPBG. Jumlah ini tentu sudah mampu mengimbangi persebaran SPBU yang sampai saat ini telah mencapai 5.400 SPBU yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
Langkah selanjutnya yang harus ditetapkan pemerintah adalah standarisasi harga BBG diseluruh wilayah Indonesia. Dilema yang dialami operator SPBG saat ini adalah komposisi harga jual yang ditetapkan oleh pemerintah yang belum mencapai titik keekonomisan. Hal itu dikarenakan harga beli gas itu sendiri masih mengacu pada harga gas pipa, nilai kurs, dan komponen produksi lainnya yang masih belum stabil, sementara itu selama ini harga beli gas masih mengacu pada harga pasar domestic yang cenderung fluktuatif.
Campur tangan Pemerintah penting pada sisi ini, jangan biarkan operator swasta yang telah berkomitmen untuk mensukseskan program konversi BBG menjadi merugi akibat ketidak ekonomisan harga yang dicapai dari standar penetapan harga BBG ini. Setidaknya pemerintah harus mengalihkan dana subsidi BBM kepada BBG dalam bentuk subsidi untuk menutup selisih harga beli dan jual kepada masyarakat. Dengan demikian gairah investor akan semakin mengeliat untuk turut serta mensukseskan program konversi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun